Perkawinan Bugis


Judul:                           Perkawinan Bugis

Penulis:                        Susan Bolyard Millar

Editor:                          -

Penerbit:                     Ininnawa, Makassar

Tahun Terbit:             2009

Jumlah Halaman:    xxv + 288

ISBN:                            9786029523133

Penulis Resensi:        Suharman, S.S., MIM.

Buku yang membahas khusus tentang perkawinan suku Bugis sangat langka ditemukan. Buku ini adalah salah satu yang membahas perkawinan Bugis secara mendalam dan lengkap. Berbagai topik yang muncul sekitar perkawinan dalam suku Bugis dibahas satu persatu dalam buku ini. Mula dari pesta, ritual, hingga teks undangan diuraikan secara rinci. Bahkan aspek sosial politik suatu perkawinan juga dijelaskan dalam buku ini.

Terbagi menjadi 3 bagian, dan 8 bab,  diawali dengan pengantar alih bahasa, karena aslinya buku ini ditulis dalam bahasa Inggris yang kemudian diterjemahkan (dialihbahasakan) kedalam bahasa Indonesia. Dilanjutkan dengan Pengantar penerbit, Prakata dan ucapan terimakasih penulis.

Pada bagian pertama diuraikan tentang latar belakang dan profil Sulawesi Selatan termasuk gambaran geopolitik, ekonomi dan politik Sulawesi Selatan. Organisasi Sosial dan jaringan kekerabatan orang Bugis dan jaringan Tau Matowa dalam sejarah Bugis juga di jelaskan secara rinci pada bagian pertama ini.

Mekanisme perkawinan Bugis diulas pada bagian kedua. Pada bagian ini dijelaskan tentang mekanisme perkawinan  misalnya bagaimana pesta perkawinan menjadi arena untuk menunjukkan status sosial. Prosedur perkawinan dan interaksi simbolis yang terjadi pada pesta perkawinan Bugis, dibahas pula pada bagian ini.

Millar (penulis) juga membahas tentang Studi Kasus yang ditelitinya selama tahun 1975 – 1976 di daerah Bugis terutama di kabupaten Soppeng. Bagaimana ritual-ritual pernikahan Bugis bukan sekadar seremoni personal atau keluarga, melainkan juga merupakan manifestasi simbolik dari posisi sosial, kehormatan, serta jaringan kekuasaan dalam masyarakat Bugis kontemporer.

Secara umum, buku ini memaparkan berbagai unsur dalam tradisi pernikahan Bugis, seperti: Penentuan jodoh yang melibatkan pertimbangan status sosial, genealogis, hingga kekayaan keluarga. Rangkaian tahapan upacara, mulai dari mappacci, akkorongtigi, hingga resepsi, yang sarat dengan makna simbolik. Peran penting keluarga dan komunitas, yang menandakan bahwa perkawinan adalah peristiwa kolektif, bukan hanya antar dua individu. Penggunaan simbol-simbol material, seperti pakaian adat, mahar, serta tata ruang, yang mencerminkan prestise dan pengaruh keluarga mempelai. Transformasi nilai-nilai tradisional dalam konteks modern, termasuk bagaimana masyarakat Bugis menegosiasikan antara adat, Islam, dan modernitas.

Penulis telah melakukan penelitian dan berpartisipasi langsung dalam berbagai upacara perkawinan Bugis terutama di Soppeng, sehingga data yang disajikan sangat kaya dan detail. Buku ini tidak sekadar menggambarkan upacara, tetapi juga menganalisis makna sosial di balik setiap praktik, menjadikannya bacaan yang reflektif dan kritis. Perkawinan Bugis yang dibahas dalam buku ini merupakan perpaduan Tradisi, Islam, dan Modernitas.

Sebagaimana karya tulis ilmiah yang diterbitkan menjadi buku, bahasa yang digunakan sangat akademik yang cenderung tidak mudah untuk dipahami bagi masyarakat umum, karena sangat formal dan teoritis.

Buku ini juga minim dokumentasi dan visualisasi fotonya. Illustrasi foto atau gambar akan memudahkan pembaca dalam memahami isi buku.

Koleksi Deposit, Bidang Pembinaan Perpustakaan, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Sulawesi Selatan.  




Naskah Kuno Bugis dan Makassar





Suku bangsa Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, termasuk dua diantara sedikit suku bangsa di Indonesia yang memiliki tradisi tulis menulis. Huruf atau aksara yang digunakan oleh orang Bugis sejak ratusan tahun lalu adalah huruf Lontara yang dalam bahasa Bugis sendiri dinamai uki’ sulapa eppa’ (Dr. Mukhlis Paeni dalam Katalog Naskah Nusantara). Suku Makassar juga memiliki huruf tersendiri yang dinamakan aksara Jangang-jangang yang aslinya mirip bentuk burung / unggas sehingga disebut jangang-jangang. Pada perkembangan selanjutnya aksara jangang-jangang jarang digunakan dan lebih sering aksara uki’ sulapa eppa’-lah yang mendominasi penggunaan dalam penulisan bahasa Bugis dan Makassar.

Menurut para ahli sejarah, aksara lontara uki’ sulapa eppa’ dan aksara jangang-jangang keduanya masih turunan aksara Nusantara yang juga dari India (Sansekerta). Naskah Bugis kuno yang banyak tersimpan di Perpustakaan dan Arsip Daerah Sulawesi Selatan, terdiri dari berbagai macam aksara, yaitu lontara Bugis (Uki Sulapa Eppa’), lontara jangang-jangang, aksara serang (penulisan bahasa Bugis dan Makassar menggunakan aksara Arab), dan tulisan Arab asli terutama untuk naskah keagamaan. Banyak diantara naskah tersebut sudah susah dibaca, baik yang naskah aslinya maupun microfilm-nya. Hal ini disebabkan karena naskah naskah tersebut sudah sangat rapuh, tinta yang digunakan juga sudah banyak meresap kedalam kertasnya, ada juga yang halamannya sudah ada yang hilang atau sobek.

Di kantor Perspustakaan dan Arsip Daerah Sulawesi Selatan juga tersimpan dengan baik naskah Bugis kuno yang tertulis diatas daun lontar. Naskah ini berupa gulungan rol daun lontar yang sambung menyambung. Menurut para pakar orang dulu menggunakan semacam paku kecil untuk menggoreskan huruf huruf diatas helai daun lontar dengan penuh kehati-hatian karena sifat daun lontar yang mudah sobek. Setelah satu helai ditulisi, kemudian ditaburi bubuk hitam sehingga tulisannya kentara dan dapat dibaca dengan jelas. Setelah selesai ditaburi, helai daun lontar kemudian disambungkan dengan helai sebelumnya dengan cara dijahit menggunakan jarum dan benang. Ketika satu naskah dianggap selesai, kemudian helai daun lontar tersebut digulung dan dibuatkan tempat gulungan untuk memudahkan membacanya. Cara membacanya yaitu dengan duduk bersila sambil kedua tangan memutar gulungan rol daun lontar. Biasanya disertai dengan ritual (upacara) kecil.

Jumlah naskah lontara’ Bugis, Makassar dan Mandar yang tersimpan di Perpustakaan dan Arsip Daerah yaitu 4.049 naskah yang semuanya sudah dimicrofilm-kan. Para peneliti atau mahasiswa yang akan membaca dan meneliti naskah lontara hanya akan membaca hasil microfilmnya saja. Naskah aslinya sudah tidak bisa diakses, karena sifat kertasnya yang sudah sangat rapuh. Naskah asli ini biasanya hanya untuk dipajang saat eksibisi (pameran) saja. Hasil microfilm naskah lontara ini selain bisa dibaca di layar Mircrofilm reader, juga bisa discan dan disimpan dalam format .tiff atau .jpg, sehingga bisa diprint langsung, tentu dengan biaya tertentu.

Berbagai macam topik naskah lontara Bugis yang ada di Perpustakaan dan Arsip daerah. Ada lontara Kutika yaitu semacam astrologi nenek moyang orang Bugis dan Makassar. Dalam lontara kutika ini juga disebutkan tentang hari baik dan hari buruk untuk melaksanakan pernikahan, naik rumah baru (rumah orang Bugis dan Makassar zaman dulu berupa rumah panggung), hari permulaan mengerjakan sawah, dan ramalan lainnya. Kepiawaian orang dulu meramu obat juga banyak terekam dalam naskah lontara pabbura’ . Berbagai jenis tanaman herba diramu dan digunakan untuk mengobati penyakit tertentu. Juga ada yang dinamakan lontara Baddili’ lompo yaitu naskah lontara yang membahas tentang strategi perang dan pembuatan senjata. Naskah lainnya, ada yang membahas tentang cara bercocok tanam yang disebut lontara’ Paggalung, kisah kisah tasauf, ajaran Syech Yusuf, naskah keagamaan, pendidikan sex suami istri (lontara akkalaibinengeng), tabiat binatang, silsilah raja (Lontara Pagoriseng), Lontara’ alloping-loping yang merupakan lontara yang mengupas tentang tata cara berlayar dan menangkap ikan. Ada juga lontara’ pattaungeng yang merupakan catatan harian orang Bugis zaman dulu dan lain lain (Tolok Rumpakna Bone, terjemahan oleh Drs. Muhammad Salim 1991).

Karya sastra dalam lontara’ Bugis biasanya terdiri dari larik larik bersambung, namun tidak sedikit yang terdiri dari kalimat kalimat biasa yang sambung menyambung. Lontara yang berlarik larik misalnya epos I La Galigo, Tolo’, Meongpalo, Sure’ Selleyang, Elong Ugi. Sedangkan lontara’ yang terdiri dari kalimat kalimat bersambung misalnya lontara hikayat, kisah, tasauf, dan lontara keagamaan lainnya. Jumlah huruf dari jenis lontara yang berlarik larik tersebut berbeda beda. Elong Ugi biasanya terdiri dari tiga baris masing masing jumlah huruf (lontara’)nya atau sukukata pada aksara latin 8’, 7 dan 6. Terkadang juga cuma dua baris namun jumlah huruf lontaranya harus 21. Adapun Tolo’, Menrurana, dan Meongpalo adalah terdiri dari larik larik yang sambung menyambung yang terdiri dari 8 sukukata atau 8 huruf lontara’ Bugisnya. I La Galigo dan Sure’ Selleyang berlarik 5, 5, 5 atau 10, 10, 10.

Sangat disayangkan bahwa minat generasi muda untuk meneliti naskah lontara Bugis atau Makassar sangat kurang. Padahal, lontara’ Bugis dan Makassar adalah salah satu aspek kebudayaan daerah yang mengandung nilai nilai luhur budaya bangsa. Tanpa adanya usaha usaha untuk melestarikan naskah naskah lontara Bugis dan Makassar maka dikhawatirkan suatu saat, generasi muda Bugis dan Makassar akan kehilangan jatidiri dan karya karya sastra tersebut akan punah terlindas masa…

Gambar: dari koleksi DispusArsip Sulsel




Perkawinan Bugis

Judul:                           Perkawinan Bugis Penulis:                        Susan Bolyard Millar Editor:                          ...

Popular Posts