Naskah Kuno Bugis dan Makassar





Suku bangsa Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, termasuk dua diantara sedikit suku bangsa di Indonesia yang memiliki tradisi tulis menulis. Huruf atau aksara yang digunakan oleh orang Bugis sejak ratusan tahun lalu adalah huruf Lontara yang dalam bahasa Bugis sendiri dinamai uki’ sulapa eppa’ (Dr. Mukhlis Paeni dalam Katalog Naskah Nusantara). Suku Makassar juga memiliki huruf tersendiri yang dinamakan aksara Jangang-jangang yang aslinya mirip bentuk burung / unggas sehingga disebut jangang-jangang. Pada perkembangan selanjutnya aksara jangang-jangang jarang digunakan dan lebih sering aksara uki’ sulapa eppa’-lah yang mendominasi penggunaan dalam penulisan bahasa Bugis dan Makassar.

Menurut para ahli sejarah, aksara lontara uki’ sulapa eppa’ dan aksara jangang-jangang keduanya masih turunan aksara Nusantara yang juga dari India (Sansekerta). Naskah Bugis kuno yang banyak tersimpan di Perpustakaan dan Arsip Daerah Sulawesi Selatan, terdiri dari berbagai macam aksara, yaitu lontara Bugis (Uki Sulapa Eppa’), lontara jangang-jangang, aksara serang (penulisan bahasa Bugis dan Makassar menggunakan aksara Arab), dan tulisan Arab asli terutama untuk naskah keagamaan. Banyak diantara naskah tersebut sudah susah dibaca, baik yang naskah aslinya maupun microfilm-nya. Hal ini disebabkan karena naskah naskah tersebut sudah sangat rapuh, tinta yang digunakan juga sudah banyak meresap kedalam kertasnya, ada juga yang halamannya sudah ada yang hilang atau sobek.

Di kantor Perspustakaan dan Arsip Daerah Sulawesi Selatan juga tersimpan dengan baik naskah Bugis kuno yang tertulis diatas daun lontar. Naskah ini berupa gulungan rol daun lontar yang sambung menyambung. Menurut para pakar orang dulu menggunakan semacam paku kecil untuk menggoreskan huruf huruf diatas helai daun lontar dengan penuh kehati-hatian karena sifat daun lontar yang mudah sobek. Setelah satu helai ditulisi, kemudian ditaburi bubuk hitam sehingga tulisannya kentara dan dapat dibaca dengan jelas. Setelah selesai ditaburi, helai daun lontar kemudian disambungkan dengan helai sebelumnya dengan cara dijahit menggunakan jarum dan benang. Ketika satu naskah dianggap selesai, kemudian helai daun lontar tersebut digulung dan dibuatkan tempat gulungan untuk memudahkan membacanya. Cara membacanya yaitu dengan duduk bersila sambil kedua tangan memutar gulungan rol daun lontar. Biasanya disertai dengan ritual (upacara) kecil.

Jumlah naskah lontara’ Bugis, Makassar dan Mandar yang tersimpan di Perpustakaan dan Arsip Daerah yaitu 4.049 naskah yang semuanya sudah dimicrofilm-kan. Para peneliti atau mahasiswa yang akan membaca dan meneliti naskah lontara hanya akan membaca hasil microfilmnya saja. Naskah aslinya sudah tidak bisa diakses, karena sifat kertasnya yang sudah sangat rapuh. Naskah asli ini biasanya hanya untuk dipajang saat eksibisi (pameran) saja. Hasil microfilm naskah lontara ini selain bisa dibaca di layar Mircrofilm reader, juga bisa discan dan disimpan dalam format .tiff atau .jpg, sehingga bisa diprint langsung, tentu dengan biaya tertentu.

Berbagai macam topik naskah lontara Bugis yang ada di Perpustakaan dan Arsip daerah. Ada lontara Kutika yaitu semacam astrologi nenek moyang orang Bugis dan Makassar. Dalam lontara kutika ini juga disebutkan tentang hari baik dan hari buruk untuk melaksanakan pernikahan, naik rumah baru (rumah orang Bugis dan Makassar zaman dulu berupa rumah panggung), hari permulaan mengerjakan sawah, dan ramalan lainnya. Kepiawaian orang dulu meramu obat juga banyak terekam dalam naskah lontara pabbura’ . Berbagai jenis tanaman herba diramu dan digunakan untuk mengobati penyakit tertentu. Juga ada yang dinamakan lontara Baddili’ lompo yaitu naskah lontara yang membahas tentang strategi perang dan pembuatan senjata. Naskah lainnya, ada yang membahas tentang cara bercocok tanam yang disebut lontara’ Paggalung, kisah kisah tasauf, ajaran Syech Yusuf, naskah keagamaan, pendidikan sex suami istri (lontara akkalaibinengeng), tabiat binatang, silsilah raja (Lontara Pagoriseng), Lontara’ alloping-loping yang merupakan lontara yang mengupas tentang tata cara berlayar dan menangkap ikan. Ada juga lontara’ pattaungeng yang merupakan catatan harian orang Bugis zaman dulu dan lain lain (Tolok Rumpakna Bone, terjemahan oleh Drs. Muhammad Salim 1991).

Karya sastra dalam lontara’ Bugis biasanya terdiri dari larik larik bersambung, namun tidak sedikit yang terdiri dari kalimat kalimat biasa yang sambung menyambung. Lontara yang berlarik larik misalnya epos I La Galigo, Tolo’, Meongpalo, Sure’ Selleyang, Elong Ugi. Sedangkan lontara’ yang terdiri dari kalimat kalimat bersambung misalnya lontara hikayat, kisah, tasauf, dan lontara keagamaan lainnya. Jumlah huruf dari jenis lontara yang berlarik larik tersebut berbeda beda. Elong Ugi biasanya terdiri dari tiga baris masing masing jumlah huruf (lontara’)nya atau sukukata pada aksara latin 8’, 7 dan 6. Terkadang juga cuma dua baris namun jumlah huruf lontaranya harus 21. Adapun Tolo’, Menrurana, dan Meongpalo adalah terdiri dari larik larik yang sambung menyambung yang terdiri dari 8 sukukata atau 8 huruf lontara’ Bugisnya. I La Galigo dan Sure’ Selleyang berlarik 5, 5, 5 atau 10, 10, 10.
Sangat disayangkan bahwa minat generasi muda untuk meneliti naskah lontara Bugis atau Makassar sangat kurang. Padahal, lontara’ Bugis dan Makassar adalah salah satu aspek kebudayaan daerah yang mengandung nilai nilai luhur budaya bangsa. Tanpa adanya usaha usaha untuk melestarikan naskah naskah lontara Bugis dan Makassar maka dikhawatirkan suatu saat, generasi muda Bugis dan Makassar akan kehilangan jatidiri dan karya karya sastra tersebut akan punah terlindas masa…

Gambar: dari koleksi BPAD Sulsel

16 komentar:

  1. Wah infonya menarik, tentunya akan sangat menarik diteliti. Mungkin juga karena kekurang tahuan makanya kurang yang mau meneliti. Selain itu penggunaan bahasa Bugis riolo juga berbeda dengan bahasa bugis yang kita gunakan sekarang.

    Mumpung sekarang sedang diadakan Makassar International Writer Festival (MIWF), kenapa tidak coba promosikan naskah2 ini lewat even MIWF. Siapa tahu ada yang tertarik daeng

    BalasHapus
  2. Saya sebenarnya ingin sekali turut berpartisipasi dalam MIWF, tapi karena kesibukan, tidak punya waktu banyak untuk hadir diacara tersebut.

    Betul sekali, bahwa masyarakat dan mahasiswa kurang mengetahui tentang adanya ribuan naskah Lontara Bugis dan Makassar kuno di BPAD. Makanya, salah satu cara saya turut serta mempromosikannya lewat Blog. Harapan saya semoga sepenggal tulisan ini bisa sedikit membuka cakrawala berpikir orang tentang Bugis dan Makassar......

    BalasHapus
    Balasan
    1. gmana cara mendapatkan micro filmnya daeng?..... sya dr kaltim

      Hapus
    2. Hanya bisa dibaca ditempat, diruang baca Arsip di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Sulawesi Selatan.

      Hapus
  3. Buat rekan-rekan baik yang bisa berbahasa Bugis, maupun yang bukan orang Bugis, ayo mari disini kita belajar dan berbagi CARA MENULIS AKSARA BUGIS. Ada video dan photo-photo serta bahan Latihan. Yuk dicoba, semua pasti bisa dan sangat cepat.
    Semoga bermanfaat.
    http://menulisaksarabugis.wordpress.com/

    BalasHapus
  4. jika ingin melihat naskah2 kuno bugis makassar itu dimana kak??

    BalasHapus
    Balasan
    1. naskah Lontara Bugis Makassar, bisa dilihat di Badan Perpustakaan dan Arsip daerah Prov. Sulawesi Selatan, di Tamalanrea, Makassar, juga ada di Museum (museum I La Galigo, dan museum di kabupaten kota). Tapi kalau mau meneliti naskah hanya di BPAD, dimana tersimpan 4000an naskah dalam bentuk microfilm, juga ada naskah asli dan naskah dari daun lontar asli.

      Hapus
  5. Apakah ada tempat pembuatan kertas dari daun lontar di sulsel?? saya tertarik sekali meniliti kebudayaan tulis ini untuk penelitian di kampus. Mohon informsinya kak, Terimakasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya ini bukan 'kertas dari daun lontar', tapi memang daun lontar asli yg digunakan untuk menulis ssesuatu. Sejak masuknya pengaruh Belanda dalam penggunaan kertas, perlahan lahan daun lontar ditinggalkan sbg media penulisan. Sekarang ini sdh tidak ada yg menulis diatas daun lontar. Koleksi BPAD Sulsel yg tertua dari abad ke 18 yg merupakan naskah silsilah terbuat dari daun lontar asli.

      Hapus
    2. tabe, saya mau konsul aksara serang

      Hapus
    3. tabe, saya mau konsul aksara serang

      Hapus
    4. Maaf, saya tidak menguasai Aksara Serang, tp kalau mau sekedar berdiskusi, mungkin ada teman di Arsip yg bisa anda tanya.

      Hapus
  6. Assalamu alaikum daeng...
    Tabe' saya mau bertanya apakah ada akses yang bisa daeng tunjukkan agar saya bisa dapat akses masuk untuk melihat langsung naskah asli lontara ini...saya sangat tertarik dengan lontara pabbura karena masih sangat jarang lontaranya diposting di web maupun blog..terima kasih sebelummnya.
    Tabe' kalau ada referensi ta tentang lontara pabbura kita bisa kirimkan ke email saya lacundekke09@gmail.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silakan datang ke kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Sulawesi Selatan di Tamalanrea makassar. Ada beberapa Lontara Pabbura disitu. Tanyakan saja pada petugas ruang baca....

      Hapus
  7. Assalamu alaikum daeng...
    Tabe' saya mau bertanya apakah ada akses yang bisa daeng tunjukkan agar saya bisa dapat akses masuk untuk melihat langsung naskah asli lontara ini...saya sangat tertarik dengan lontara pabbura karena masih sangat jarang lontaranya diposting di web maupun blog..terima kasih sebelummnya.
    Tabe' kalau ada referensi ta tentang lontara pabbura kita bisa kirimkan ke email saya lacundekke09@gmail.com

    BalasHapus
  8. Mohon maaf atas keterlambatan balasan dari saya.
    Jika ingin membaca lontara silahkan datang ke kantor BPAD Sulsel di Jl. Perintis Kemerdekaan 146 Tamalanrea Makassar. Semua naskah sudah di microfilmkan, dan jika ingin dibaca lewat microfilm. Tapi kalau memang akan melihat langsung atau meneliti naskah aslinya, ada beberapa naskah asli di BPAD yg bisa diakses. Untuk lebih jelasnya silahkan datang ke BPAD diruang layanan...

    BalasHapus

Takalar Kini dan Esok, Paradigma Baru Bupati Zainal

Buku : Takalar Kini & Esok, Paradigma Baru Bupati Zainal Editor : Andi Wanua Tangke dan Usman Nukma Penerbit : Pustaka Refleksi Te...

Popular Posts