Menyusuri Pulau Jawa dengan Keretaapi KMB Selatan

Perjalan kereta bagi kami orang orang dari bagian timur Indonesia adalah sesuatu yang langka dan mewah. Mewah bukan karena mahal, tapi karena memang tidak ada moda transportasi kereta api di daerah timur Indonesia. Sebenarnya diera kolonial, pemerintah Belanda sempat membangun sistem transportasi keretaapi di Makassar tetapi, biasanya hanya untuk kepentingan pengangkutan hasil kebun dan barang. Makanya bagi sebagian warga ‘Indonesia timur’, setiap kali kepulau Jawa atau Sumatra, selalu berusaha dan menyempatkan diri naik keretaapi. Ketika saya dan beberapa anggota keluarga dari Sulawesi berkunjung ke Jakarta untuk suatu acara keluarga, kami pun menyempatkan diri menggunakan kereta api untuk ke Surabaya. Sebagian anggota keluarga saya belum pernah naik kereta sebelumnya, dan inilah kesempatan pertama itu. Pagi pagi dari Cileduk, Tangerang, rombongan kami menuju menuju Stasion Kota, di Jakarta karena masing masing-masing sudah memiliki tiket yang dipesan jauh hari sebelumnya saat masih di Makassar. Dengan wajah ceria kami pun memasuki Stasion Kota, yang pagi pagi sudah dipenuhi oleh para commuter yang datang dari kota kota diluar Jakarta. Bangunan stasion juga cukup menarik perhatian kami, dan sempat berfoto foto dengan latar belakang gedung yang klasik khas kolonial. Saat jam menunjukkan pukul 11 pagi, kereta yang ditunggu datang. Sebelum kereta datang, para penumpang sudah berkumpul disamping tempat pemberhentian kereta. Dan ketika waktunya naik kereta, para penumpang berdesakdesakan memasuki tangga kereta, padahal mereka tentu saja sudah memiliki tempat duduk. Lalu untuk apa berdesakan begitu? Mungkin memang kita orang Indonesia tidak sabaran dalah hal antrian. Rombongan keluarga saya kebetulan menempati gerbong 5 dan 6, jadi harus terpisah. Hal ini jadi merepotkan, karena ada anak anak balita yang harus terpisah gerbong dengan orangtuanya, ada juga orang lanjutusia yang harus terpisah dengan anaknya yang seharusnya mendampinginya. Akhirnya setelah diatur dan ditukar tiket dan tempat, akhirnya kamipun mengatur ulang tempat duduk. Ketika waktu menunjukkan pukul 11.30 pagi, akhirnya keretapun bergerak menyusuri rel relnya menuju kota Surabaya. Karena perjalanan jauh, saya berusaha menikmatinya, namun hal pertama yang saya rasakan adalah hawa panas dalam gerbong, meskipun ber-AC. Ada beberapa penumpang yang malah membuka kaca jendela supaya angin masuk. Kupikir mungkin karena siang dan banyak penumpang makanya hawa udara jadi panas. Sesaat kemudian, masuklah petugas kereta yang mengatur suhu udara AC, ternyata dari tadi menyala tapi suhunya agak tinggi, sehingga seakan-akan AC tidak berfungsi. Saya duduk berdekatan dengan dua orang ibu berumur 60an tahun namun masih nampak sehat dan kami sempat ngobrol soal perkereta-apian di Jawa. Menurut ibu itu, sekarang kereta-api sudah lebih baik dibanding dulu. Katanya, dulu kelas ekonomi tidak ber-AC, dan para penumpangnya penuh sesak dan banyak yang tidak mendapat tempat duduk, dan banyak yang tidur tiduran di lantai gerbong. Juga banyak copet, pengamen dan pedagang asongan. Sekarang sudah tidak demikian. Diawal perjalanan sampai Cirebon, saya memang tidak melihat adanya pengamen, pedagang asongan dan pencopet, namun ketika pemberhentian selanjutnya, para pedagang asongan pun menyerbu masuk, bersahut sahutan mempromosikan barang jualannya, menyusuri gerbong gerbong kereta. Para pedagang asongan itu naik saat kereta berhenti di salah satu stasion, dan kupikir mereka akan turun sesaat sebelum kereta berangkat lagi. Ternyata sampai kereta bergerak dan berangkat menuju stasion selanjutnya, mereka tetap berjualan dari gerbong ke gerbong lainnya. Apakah mereka membayar kepada petugas untuk diizinkan berjualan, sementara di stasion Cirebon, terpampang spanduk besar bertuliskan larangan berdagang dan mengamen dikereta, disertai Undang Undang dan berbagai Peraturan Pemerintah dan Menteri tentang perkeretaapian. Sebenarnya bagi penumpang kereta, jika membutuhkan makanan, dikereta terdapat satu gerbang antara gerbong 5 dan 6 terdapat gerbong restoran, dimana disediakan minuman the, kopi, air kemasan, sampai minuman energi. Juga makanan seperti nasi kuning, nasi campur dan mie instant. Tentu saja makanan ini lebih terjamin kebersihannya dibanding dengan yang dijajakan oleh para pedagang asongan itu. Tapi jenis makanan yang dijual pedagang asongan agak berbeda; nasi rawon, pecel, makanan oleh semacam krupuk, wingko, pisang sale, kacang rebus, pisang rebus, dodol Garut, dan minuman kemasan, kopi instant dan teh panas. Bukan hanya makanan dan minuman, aksesoris pribadi juga banyak dijual, misalnya sisir, kipas tradisional dari bilah bambu, pulpen, gantungan kunci, sampai blankon jawa. Sepanjang perjalanan dari pagi sampai sore kunikmati, meski hawa udara dalam gerbong agak panas dan membuatku berkeringat, tapi lama kelamaan mulai terasa dinginnya. Sepanjang perjalanan lebih banyak persawahan dan perkebunan yang dileawati daripada permukiman, sawah sawah yang menghijau dan terkadang dikejauhan terlihat rumah rumah penduduk yang semuanya beratap genteng berwarna oranye. Antara Jakarta – Surabaya ada sekitar 20-an stasion kereta yang dilewati, dan tidak semua disinggahi. Stasion yang disinggahi oleh KMB Selatan yang sempat kuingat antara lain: Jatibarang, Hargeulies, Cirebon, Ketanggungan, Purwokerto, Kroya, Sruweng, Kebumen, Kutoarjo, Lempuyangan, Solo Jebres, Jombang, Wonokromo dan berakhir di Gubeng Surabaya. Ada banyak stasion yang tidak sempat kuamati selain karena tulisannya tidak sempat terbaca, juga saya sempat tertidur selama perjalanan. Secara umum, kami menikmati perjalanan kereta ini, yang merupakan perjalanan kereta yang kedua kalinya bagi saya, tapi sebagian besar anggota keluarga saya pertama kali naik kereta.

Takalar Kini dan Esok, Paradigma Baru Bupati Zainal

Buku : Takalar Kini & Esok, Paradigma Baru Bupati Zainal Editor : Andi Wanua Tangke dan Usman Nukma Penerbit : Pustaka Refleksi Te...

Popular Posts