TINABO, pulau kecil yang indah di Selayar






Pulau Tinabo adalah salah satu pulau di Kabupaten Kepulauan Selayar, yang masuk dalam gugusan kepulauan Takabonerate. Saya berkunjung ke pulau ini pada tahun 2009 pada saat acara Takabonerate expedition. Pulau ini sebenarnya tidak berpenghuni, namun oleh pemerintah daerah telah dibangun pondok kerja untuk para pencinta lingkungan, khususnya pelestarian terumbu karang (coral reefs). Pulau Tinabo paling sering dikunjungi oleh para peneliti, mahasiswa, pencinta alam, diver (penyelam), dan pemerhati terumbu karang lainnya.

Keindahan pulau ini sulit digambarkan dengan kata kata. Saya hanya bisa mengatakan bahwa inilah pulau terindah yang pernah saya datangi. Pasirnya putih bersih dan sangat halus. Pasirnya benar benar berwarna putih, bukan warna kuning seperti pantai Bira di Bulukumba, atau pantai Kuta di Bali. Pulau ini kecil dan anda bisa kelilingi hanya dalam hitungan menit, tidak sampai satu jam. Disini keindahan terumbu karang juga dapat disaksikan tanpa perlu menyelam, karena semua ada disekeliling pulau, dan dibawah dermaga . Terumbu karang ini ditanam, dipelihara dan dilestarikan oleh para pencinta alam. Saya sendiri baru pertama kali melihat keindahan terumbu karang disini. Bukan hanya terumbu karang yang berwarna warni, ikan ikan hias juga banyak disini dan dapat disaksikan dengan mata telanjang berenang renang disela sela dedaunan tumbuhan laut dan terumbu karang. Sungguh mengagumkan.

Mengapa pulau ini tetap terjaga keasriannya dan keindahannya? Mungkin karena letaknya yang agak jauh dari pulau pulau yang berpenghuni. Tidak jauh dari pulau Tinabo ini, juga ada pulau tak berpenghuni lainnya, dimana sebatang kelapa tumbuh ditengah tengah rimbunan semak, mirip dengan gambar wallpaper yang sering menghiasi komputer.Pulau Rajuni adalah pulau berpenghuni yang terdekat dari pulau ini. Penduduk pulau Rajuni ternyata kebanyakan adalah orang Bugis dari Sinjai. Pulau Rajuni ini juga sangat indah, namun karena sudah berpenghuni, meski tidak banyak, maka biota lautnya tidak sebagus dengan yang ada di Pulau Tinabo.

Gambar: foto kiki108multiply.com dan koleksi pribadi

Tentang Oleh-Oleh




Oleh oleh menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah sesuatu yang dibawa dari bepergian; buah tangan. Pemberian oleh oleh dari orang yang baru datang dari bepergian sudah menjadi bagian tradisi masyarakat Indonesia. Seakan akan tidak sah kedatangan seseorang yang dari jauh tanpa membawa oleh oleh. Dinegara barat atau negara lainnya mungkin tidak dikenal yang namanya oleh oleh. Kalaupun ada pemberian atau hadiah, tak lebih dari sebuah kebetulan belaka dan bukan semacan tradisi atau kebiasaan seperti kita di Indonesia.

Teringat masa kecil saya dulu dikampung disalah satu kecamatan di kabupaten Bone, setiap kali kakak atau keluarga lainnya datang dari Ujungpandang (sekarang Makassar) pasti membawa oleh oleh. Yang paling sering adalah roti yang berbentuk seperti kasur kapuk, juga kadang minuman kaleng misalnya 7up (baca seven up), cocacola dan lain lain. Seiring perjalanan waktu, oleh oleh sekarang ini semakin bervariasi. Ada misalnya oleh oleh berupa baju baru, paket makanan, dompet, tas, buku, mainan untuk anak anak, sovenir dan kerajinan tangan, buah buahan, atau bahkan gadget (handphone, MP3 player, camera digital, dll).

Saya termasuk orang yang sering bepergian, baik dalam provinsi sendiri (Sulawesi Selatan), dalam negeri, maupun luarnegeri. Tujuannya lebih sering karena tugas kantor, tapi sering juga karena memang ingin jalan jalan. Dikantor, saya satu-satunya yang pede (percaya diri) berbahasa Inggris. Banyak yang bisa, tapi kalau misalnya ditugaskan untuk ikut pendidikan yang bahasa pengantarnya bahasa Inggris hampir semua menolak. Makanya atasan saya dikantor sering kali menugaskan saya ikut diklat meskipun kurang tepat dengan tugas saya dikantor. Saya sih senang senang saja. Setiap kali akan pulang kembali ke Makassar, yang namanya oleh oleh harus segera dipikirkan.

Ada beberapa peristiwa yang berkaitan dengan oleh oleh yang pernah saya alami. Di bandara Kingsford Sydney Australia, saya pernah di denda A$240 karena kelebihan berat bagasi yang berisi sesak dengan oleh oleh. Pernah pula di Bandara Soekarno Hatta, seorang teman meminta saya menduduki kopornya hanya karena dia tidak bisa menarik resleting kopernya yang penuh dengan oleh oleh. Peristiwa lainnya, seorang teman tidak mau berbicara dengan saya hanya karena saya lupa membawakan pesanan oleh olehnya saat dari luarnegeri. Ada juga teman yang berbaik hati, misalnya menitipkan uangnya sendiri saat saya akan berangkat, sambil berkata, “ini uang untuk pembelian oleh olehku sendiri”. Terkadang dia menentukan sendiri oleh oleh apa yang ingin dibelikan, kadang juga dia serahkan saja pada saya, yang penting uangnya cukup. Nah kalau begini kan bagus. Ada juga yang merepotkan, memesan oleh oleh yang mahal mahal, misalnya baju kaos bermerek, sepatu kulit atau jaket yang mahal.

Begitulah kita bangsa Indonesia. Hubungan antar keluarga, kerabat, teman, tetangga yang bagitu erat membuat kita tidak bisa melupakan yang namanya oleh oleh. Di Bali saat seroang teman memborong begitu banyak oleh oleh di pasar Sukawati, dia berkata dengan sedikit nada mengeluh, “beginilah…..sayang anak, sayang istri, sayang teman, sayang tetangga, sayang mertua, sayang ipar ipar…..”. Kalau saya biasanya membuat catatan tersendiri tentang siapa yang akan mendapatkan apa. Misalnya, teman yang suka pake topi, saya belikan topi sebagai oleh oleh. Saat masih bujang, saya sering memprioritaskan oleh oleh untuk ibu. Biasanya baju muslimah, tasbih, sajadah atau Al-quran. Sekarang ibu telah meninggaldunia, dan saat bepergian setiap kali saya melihat penjual tasbih atau mukenah, saya seringkali merasa sedih dan berpikir, “…kalau saja ibu masih hidup, saya tentu akan membelikannnya tasbih atau sajadah…”. Sekarang ini yang menjadi prioritas oleh oleh tentu saja anak anakku (dua orang laki laki). Baru kemudian istri, ipar, pembantu, teman kantor, keponakan, dan tetangga. Nah… jangan pernah lupa membeli oleh oleh saat anda bepergian…....

Gambar: dari thehouse.com dan motorhelmets.com

Pesta Di Tengah Jalan

Pagi pagi saat berangkat ke kantor, di Jl. Bonto Tangnga, Pao Pao jalanan ditutup dengan palang disertai tulisan besar “ADA PESTA” ditengah tengahnya. Bukan hanya satu lajur, tetapi ditutup total. Hanya pejalan kaki yang bisa lewat. Terpaksa saya dan pengguna jalan lainnya, motor, mobil, bentor semua berbelok arah melewati jalan sempit yang rusak parah diperumahan Pao Pao Permai. Jalanan diperumahan tidak diaspal, tidak dibeton, tidak dipaving, hanya tanah berlumpur dan berdebu, dan pasir bangunan dipinggir selokan. Belum lagi banyak yang berlubang dan digenangi air berwarna kekuning-kuningan. Untungnya, masih pagi pagi jadi tidak terlalu macet.

Pelaksanaan pesta perkawinan di daerah ini banyak yang dilaksanakan ditengah tengah jalan, dengan terlebih dulu meminta izin ke kepolisian dan RT setempat. Mereka tidak menyewa gedung dengan alasan biaya yang mahal. Yang menjadi pertanyaan, mengapa pihak kepolisian begitu mudah memberi izin kepada penduduk untuk menutup jalan? Seharusnya dipertimbangkan, apakah ada jalan alternative lain yang kondisinya baik dan tidak sempit. Penutupan jalan, bukan hanya untuk pesta perkawinan, tetapi juga sunatan (khitanan), syukuran, Aqiqah anak, takziah, bahkan nonton bola bersama saat piala dunia. Jalanan yang ditutup juga bukan hanya jalanan perumahan, bahkan jalan protokol pun bisa ditutup satu lajur. Jalanan seakan akan boleh ditutup kapan pun dan dimanapun. Orang yang punya hajatan, juga tidak pernah meminta maaf kepada pengguna jalan karena jalanan ditutup. Seharusnya, ada tulisan “Jalan ditutup sampai tanggal…. Karena ada pesta perkawinan. Mohon maaf atas ketidaknyaman anda”. Kalau ada tulisan begini, mungkin pengguna jalan cukup mengerti. Tapi kalau hanya tulisan “ADA PESTA” atau tidak ada tulisan sama sekali, bisa bisa para pengguna jalan yang merasa terganggu akan menyumpahi orang yang punya hajatan. Lebih bagus lagi, kalau sehari sebelumnya, orang yang punya hajatan membuat tulisan besar diujung jalan, misalnya “Mohon maaf, besok tanggal …. Jalanan ini akan ditutup selama satu hari”. Dengan demikian, kita bisa mencari jalan alternatif sejak dari rumah. Kadang kadang, ada yang menutup jalan sampai 3 hari tanpa adanya permintaan maaf dan pemberitahuan sebelumnya. Seharusnya pemerintah melarang penutupan jalan untuk kepentingan pesta atau acara lainnya. Bisa juga izin penutupan jalan diperketat oleh pihak kepolisian. Mengapa orang orang yang menutup jalan itu begitu susah untuk menulis permintaan maaf? Mengapa begitu mudah mereka menutup jalan? Ataukah kita memang sudah sangat apatis dengan kepentingan orang banyak disekitar kita? Entahlah….


Orang Makassar Menemukan Australia



Jika kita menelusuri sejarah Australia, maka diketahui bahwa orang Eropa bukanlah yang pertama mengunjungi tanah Aborigin Australia. Jauh sebelum permukiman orang Eropa berdiri di Sydney, orang orang Makassar sudah sering mengunjungi Australia bagian utara. Mereka mengunjungi dan berlabuh didaerah daerah pantai yang sekarang ini dikenal dengan nama Arnhem Land.

Para pelaut Makassar menempuh jarak sekitar 2000 km mencari hasil hasil laut terutama tripang. Mereka menggunakan perahu besar dan biasanya mereka menggunakan sampan kecil saat memancing tripang. Musim pencarian tripang biasanya berlangsung dari bulan Desember sampai Mei yang merupakan musim hujan disebagian besar Indonesia.

Apakah orang orang Makassar menjadi teman atau musuh bagi orang Aborigin? Oleh karena para pelaut Makassar tersebut biasanya hanya tinggal sementara didaerah pantai, dan jarang sekali yang masuk ke pelosok, maka orang Aborigine sama sekali tidak menganggapnya sebagai musuh atau ancaman. Orang Makassar tidak tergantung pada orang Aborigine dan begitu pula sebaliknya, orang Aborigine tidak tergantung pada orang Makassar. Kalau mereka mau, bisa saja kedua budaya saling hidup berdampingan.

Nampaknya orang Makassar dengan orang Aborigin lebih sering saling berteman daripada bermusuhan, meskipun sekali kali terjadi juga konflik dan bahkan kadang serius.
Jika orang Aborigin kekurangan makanan selama musim hujan, maka mereka seringkali tertarik dan mendekati permukiman orang Makassar untuk mencari makanan dengan cara barter (saling tukar bahan pangan /makanan). Orang Aborigin mengumpulkan penyu, kerang kerang, cangkang mutiara untuk diberikan kepada orang Makassar. Orang Makassar kemudian memberikan peralatan besi dan aluminium kepada orang Aborigin. Jika kita bandingkan antara bahasa Aborigin dengan bahasa Makassar, maka akan kita jumpai beberapa kosa kata bahasa Makassar dalam bahasa Aborigin seperti kata kata yang berhubungan dengan kata jagung, beras/ padi, jarum dan peralatan memotong dan menebang kayu.

Pada umumnya orang Aborigin mempercayai orang Makassar. Orang Aborigin seringkali ikut dengan orang Makassar belayar sepanjang perairan Australia utara. Bahkan menurut sejarah, beberapa orang Aborigin ikut berlayar sampai ke Makassar.
Pencarian tripang oleh orang Makassar mulai tidak aktif pada tahun 1906 ketika pemerintah melarang pencarian ikan bagi orang orang yang memiliki perahu nelayan.

(diterjemahkan dan disarikan dari Buletin ORIGIN)

Gambar: "Perahu Makassar digambar diatas kulit kayu koleksi Aboriginal Studies Institu dari Bulletin ORIGIN (South Australia)


Sydney, The Olympic Park







Para atlet terbaik dunia telah menikmati kemegahan Olympic Park di Sydney selama Olimpiade musim panas tahun 2000 lalu. Sydney Olympic Park terletak di daerah Hombush yang dapat hanya sekitar 30 menit dari pusat kota Sydney dan sekitar 15 menit dari Parramatta, terdiri dari banyak taman , kolam kolam, area piknik, café, restoran, dan banyak kesempatan untuk bersantai menikmati keindahan alam. Sydney Olympic Park dapat dicapai dengan kereta, bus atau mobil maupun ferry.

Di Sydney Olympic Park terdapat dua hotel besar bertaraf internasional yaitu Novotel dan hotel Ibis. Juga terdapat Olympic Cauldron yaitu tempat dimana Cathy Freeman, pelari Aborigin Australia menyulut api Olimpiade tahun 2000. Letak Cauldron ini antara Telstra Stadium dengan stasiun kereta Olympic Park. Ada 1972 nama atlet peraih medali selama Olimpiade diabadikan dibagian bawah Cauldron ini, juga peraih medali paralympic (Olimpiade khusus orang cacat). Tentu saja nama pebulutangkis Indonesia Toni Gunawan dan Chandra Wijaya yang meraih medali emas juga ada tertulis abadi disini. Kalau kita tidak ingin basah, sebaiknya jangan terlalu dekat ke Cauldron saat mengambil foto, karena cucuran air dari Cauldron cukup deras. Di Olympic Park ini, juga terdapat Boulevard market (pasar boulevard) yang diadakan setiap hari minggu ke-4 setiap bulan. Di pasar boulevard ini kita bisa belanja makanan, kerajinan tangan, dan banyak hiburan gratis. Disini juga terdapat Sydney Aquatic Centre dimana Ian Thorpe menunjukkan kehebatannya memenangi lomba renang Olimpiade Sydney 2000. Di Pusat Tennis Internasional Sydney, saya pernah menyaksikan Roger Federer dan beberapa pemain tennis ternama main tennis sebelum Australia Open. Dekat dari Olympic Park terdapat Bicentennial Park yang merupakan taman kota terbesar didunia.

Gambar: foto koleksi pribadi

Canberra: Danau Burley Griffin





Danau Burley Griffin di Canberra adalah danau buatan di tengah ibukota negara Australia, Canberra. Dinamai danau Burley Griffin sesuai nama perancangnya yaitu Walter Burley Griffin, seorang arsitek Amerika yang memenangkan kompetisi desain kota Canberra. Danau ini selesai dibuat pada tahun 1964, setelah sebelumnya dibuat bendungan di sungai Molonglo yang membelah kota Canberra.

Danau ini persis ditengah kota dan dikelilingi oleh berbagai gedung institusi / lembaga penting Australia, seperti: National Gallery, National Museum, National Library, Australian National University, dan High Court serta Parliament House yang terkenal. Danau ini juga dikelilingi oleh taman taman untuk rekreasi, tapi danau tidak cocok untuk berenang, hanya bisa digunakan untuk olahraga dayung, layar atau sekedar memancing ikan.

Foto: dari Google.com serta koleksi pribadi


Naskah Kuno Bugis dan Makassar





Suku bangsa Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, termasuk dua diantara sedikit suku bangsa di Indonesia yang memiliki tradisi tulis menulis. Huruf atau aksara yang digunakan oleh orang Bugis sejak ratusan tahun lalu adalah huruf Lontara yang dalam bahasa Bugis sendiri dinamai uki’ sulapa eppa’ (Dr. Mukhlis Paeni dalam Katalog Naskah Nusantara). Suku Makassar juga memiliki huruf tersendiri yang dinamakan aksara Jangang-jangang yang aslinya mirip bentuk burung / unggas sehingga disebut jangang-jangang. Pada perkembangan selanjutnya aksara jangang-jangang jarang digunakan dan lebih sering aksara uki’ sulapa eppa’-lah yang mendominasi penggunaan dalam penulisan bahasa Bugis dan Makassar.

Menurut para ahli sejarah, aksara lontara uki’ sulapa eppa’ dan aksara jangang-jangang keduanya masih turunan aksara Nusantara yang juga dari India (Sansekerta). Naskah Bugis kuno yang banyak tersimpan di Perpustakaan dan Arsip Daerah Sulawesi Selatan, terdiri dari berbagai macam aksara, yaitu lontara Bugis (Uki Sulapa Eppa’), lontara jangang-jangang, aksara serang (penulisan bahasa Bugis dan Makassar menggunakan aksara Arab), dan tulisan Arab asli terutama untuk naskah keagamaan. Banyak diantara naskah tersebut sudah susah dibaca, baik yang naskah aslinya maupun microfilm-nya. Hal ini disebabkan karena naskah naskah tersebut sudah sangat rapuh, tinta yang digunakan juga sudah banyak meresap kedalam kertasnya, ada juga yang halamannya sudah ada yang hilang atau sobek.

Di kantor Perspustakaan dan Arsip Daerah Sulawesi Selatan juga tersimpan dengan baik naskah Bugis kuno yang tertulis diatas daun lontar. Naskah ini berupa gulungan rol daun lontar yang sambung menyambung. Menurut para pakar orang dulu menggunakan semacam paku kecil untuk menggoreskan huruf huruf diatas helai daun lontar dengan penuh kehati-hatian karena sifat daun lontar yang mudah sobek. Setelah satu helai ditulisi, kemudian ditaburi bubuk hitam sehingga tulisannya kentara dan dapat dibaca dengan jelas. Setelah selesai ditaburi, helai daun lontar kemudian disambungkan dengan helai sebelumnya dengan cara dijahit menggunakan jarum dan benang. Ketika satu naskah dianggap selesai, kemudian helai daun lontar tersebut digulung dan dibuatkan tempat gulungan untuk memudahkan membacanya. Cara membacanya yaitu dengan duduk bersila sambil kedua tangan memutar gulungan rol daun lontar. Biasanya disertai dengan ritual (upacara) kecil.

Jumlah naskah lontara’ Bugis, Makassar dan Mandar yang tersimpan di Perpustakaan dan Arsip Daerah yaitu 4.049 naskah yang semuanya sudah dimicrofilm-kan. Para peneliti atau mahasiswa yang akan membaca dan meneliti naskah lontara hanya akan membaca hasil microfilmnya saja. Naskah aslinya sudah tidak bisa diakses, karena sifat kertasnya yang sudah sangat rapuh. Naskah asli ini biasanya hanya untuk dipajang saat eksibisi (pameran) saja. Hasil microfilm naskah lontara ini selain bisa dibaca di layar Mircrofilm reader, juga bisa discan dan disimpan dalam format .tiff atau .jpg, sehingga bisa diprint langsung, tentu dengan biaya tertentu.

Berbagai macam topik naskah lontara Bugis yang ada di Perpustakaan dan Arsip daerah. Ada lontara Kutika yaitu semacam astrologi nenek moyang orang Bugis dan Makassar. Dalam lontara kutika ini juga disebutkan tentang hari baik dan hari buruk untuk melaksanakan pernikahan, naik rumah baru (rumah orang Bugis dan Makassar zaman dulu berupa rumah panggung), hari permulaan mengerjakan sawah, dan ramalan lainnya. Kepiawaian orang dulu meramu obat juga banyak terekam dalam naskah lontara pabbura’ . Berbagai jenis tanaman herba diramu dan digunakan untuk mengobati penyakit tertentu. Juga ada yang dinamakan lontara Baddili’ lompo yaitu naskah lontara yang membahas tentang strategi perang dan pembuatan senjata. Naskah lainnya, ada yang membahas tentang cara bercocok tanam yang disebut lontara’ Paggalung, kisah kisah tasauf, ajaran Syech Yusuf, naskah keagamaan, pendidikan sex suami istri (lontara akkalaibinengeng), tabiat binatang, silsilah raja (Lontara Pagoriseng), Lontara’ alloping-loping yang merupakan lontara yang mengupas tentang tata cara berlayar dan menangkap ikan. Ada juga lontara’ pattaungeng yang merupakan catatan harian orang Bugis zaman dulu dan lain lain (Tolok Rumpakna Bone, terjemahan oleh Drs. Muhammad Salim 1991).

Karya sastra dalam lontara’ Bugis biasanya terdiri dari larik larik bersambung, namun tidak sedikit yang terdiri dari kalimat kalimat biasa yang sambung menyambung. Lontara yang berlarik larik misalnya epos I La Galigo, Tolo’, Meongpalo, Sure’ Selleyang, Elong Ugi. Sedangkan lontara’ yang terdiri dari kalimat kalimat bersambung misalnya lontara hikayat, kisah, tasauf, dan lontara keagamaan lainnya. Jumlah huruf dari jenis lontara yang berlarik larik tersebut berbeda beda. Elong Ugi biasanya terdiri dari tiga baris masing masing jumlah huruf (lontara’)nya atau sukukata pada aksara latin 8’, 7 dan 6. Terkadang juga cuma dua baris namun jumlah huruf lontaranya harus 21. Adapun Tolo’, Menrurana, dan Meongpalo adalah terdiri dari larik larik yang sambung menyambung yang terdiri dari 8 sukukata atau 8 huruf lontara’ Bugisnya. I La Galigo dan Sure’ Selleyang berlarik 5, 5, 5 atau 10, 10, 10.
Sangat disayangkan bahwa minat generasi muda untuk meneliti naskah lontara Bugis atau Makassar sangat kurang. Padahal, lontara’ Bugis dan Makassar adalah salah satu aspek kebudayaan daerah yang mengandung nilai nilai luhur budaya bangsa. Tanpa adanya usaha usaha untuk melestarikan naskah naskah lontara Bugis dan Makassar maka dikhawatirkan suatu saat, generasi muda Bugis dan Makassar akan kehilangan jatidiri dan karya karya sastra tersebut akan punah terlindas masa…

Gambar: dari koleksi BPAD Sulsel

Menjadi Vegetarian



Vegetarian adalah orang yang memilih makanan sehari harinya tidak mengandung unsur unsur hewani tapi semata mata unsur nabati atau unsur tumbuhan. Jenis diet ini menjadi populer saat ini karena dipercaya menguntungkan kesehatan. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa buah dan sayuran tidak atau kurang mengandung unsur lemak, mengandung banyak serat, karbohidrat, vitamin dan mineral.

Ada tiga alasan utama mengapa orang menjadi Vegetarian. Pertama dan terutama adalah alasan kesehatan. Kedua, alasan agama atau keyakinan. Ada beberapa agama yang melarang umatnya mengomsumsi daging. Alasan ketiga, menyangkut masalah hak hak binatang (Animal Rights). Alasan ketiga ini banyak terjadi dinegara negara maju.
Diet Vegetarian dibagi menjadi 3 pola. Yang pertama disebut Vegan atau Vegetarian Total atau Vegetarian Murni. Orang orang Vegan benar benar hanya mengomsumsi unsur tumbuhan: buah, sayur, biji bijian, kacang kacangan. Mereka tidak makan daging, ikan dan seafood, telur, keju dan juga tidak minum susu dan yogurt. Kedua, Lacto-Vegetarian, yaitu mengomsumsi nabati plus keju dan produk susu beserta olahannya. Tapi mereka juga mengeluarkan telur dalam daftar menu hariannya. Ketiga adalah Lacto-Ovo Vegetarian, mengomsumsi unsur tumbuhan, plus susu serta olahannya dan juga telur. Sebenarnya masih ada istilah lain, yaitu semi vegetarian, yaitu orang yang tidak makan daging merah (sapi, kambing) tapi masih makan ikan dan seafood, atau bahkan ayam. Tapi diet semacam ini tidak dikenal dalam dunia Vegetarianisme. Kalau anda masih mengomsumsi ikan, artinya anda pemakan daging, bukan vegetarian atau semi vegetarian, demikian argumen kaum vegetarian.

Selama saya di tinggal di Sydney, saya sempat menjadi semi-vegetarian selama dua tahun. Unsur hewani yang saya komsumsi hanya ikan dan telur. Ayam, daging sapi, daging unta (di Sydney ada dijual) tidak pernah ada dalam menu makananku. Awalnya gara gara issu “halal – haram” makanan. Ketika baru tiba di Sydney, organisasi pelajar Islam Indonesia disana, mewanti wanti kami yang mahasiswa baru, bahwa, meskipun daging ayam, kalau bukan muslim yang potong, atau dipotong bukan atas nama Allah, maka hukumnya haram dimakan. Meskipun saya menganggap diri saya Islam moderat, tapi peringatan itu tetap saja membuat saya takut mengomsumsi daging maupun ayam. Akhirnya, saya menjadi semi Vegetarian. Saya sebenarnya bermaksud menghindari ikan dan hasil laut lainnya tapi tidak mampu….. mungkin karena darah Bugis dalam tubuh saya yang selalu menginginkan ikan……. Menurut statistik Sulawesi Selatan termasuk provinsi pemakan ikan terbesar di Indonesia.

Gambar dari: sodahead.com dan ninemsn.co.au

Pengelolaan Sampah di Sydney


Ketika saya tinggal belajar di Sydney, saya sempat mengamati bagaimana pemerintah kota Metropolitan Sydney mengelola sampah. Saya tinggal di apartemen bersama beberapa orang bule dan asia lainnya sesama mahasiswa. Kami yang tinggal bersama dalam satu unit yang biasanya terdiri dari beberapa kamar, menggunakan dapur bersama. Dalam keseharian kami, saya sempat mengamati bagaimana pemerintah kota Sydney, khususnya Randwick City Council mengelola sampah sampah rumah tangga.

Setiap unit apartemen atau satu rumah tangga masing masing memiliki 3 jenis tempat sampah besar, masing masing berpenutup merah, kuning dan hijau. Tempat sampah berpenutup warna merah adalah untuk sampah dapur atau sampah yang bisa hancur dan melebur dengan alam. Yang berpenutup warna kuning, adalah untuk sampah daur ulang. Tempat sampah ini terbagi dua lagi, satu untuk botol, kaleng, plastik dan wadah karton susu, dan sebelahnya untuk kertas, karton, kardus, majalah dan koran bekas, cardboad. Sedangkan yang berpenutup hijau untuk sampah hijau, misalnya rumput, ranting pohon yang habis dipangkas, bunga bunga hidup yang sudah layu, dan sampah pangkasan pagar hidup.

Setiap tahun setiap rumahtangga dan unit apartemen mendapatkan masing masing satu Kalender sampah yang bisa ditempelkan dikulkas. Selama satu tahun, tanggal pada kalender tersebut diwarnai kapan waktunya, sampah sampah itu diangkut. Misalnya tanggal 5 Januari diwarnai dengan warna kotak merah, maka pada tanggal tersebut tempat sampah berpenutup merah yang akan diangkut. Biasanya pengangkutan sampah pada jam jam 5 – 6 pagi.

Bagaimana dengan sampah elektronik dan sampah berbahan kimia? Komputer, radio, handphone, televisi, kulkas atau barang elektronik lainnya yang rusak tidak bisa dibuang begitu saja ketempat sampah. Masing masing rumahtangga atau unit apartemen diberi 4 kesempatan pengankutan sampah elektronik dan sampah kimia. Dua kesempatan yang terjadwal dan dua lagi yang tidak terjadwal, artinya kapan saja kalau misalnya sampah elektronik atau samapah kimia sudah begitu banyak, dapat menelpon Council’s Call Centre. Sampah kimia misalnya sisa cat, kosmetik yang sudah tidak dipakai, bekas racun tikus, obat obatan yang sudah tidak digunakan lagi. Mobil pengangkut sampah juga tidak mau mengambil sampah yang tidak dibungkus rapi, misalnya dalam kantongan.

Pada kalender sampah tersebut, semua dijelaskan secara detail. Misalnya, sampah apa yang masuk ke tempat sampah berpenutup merah, kuning, hijau. Pintu kulkas rusak harus dilepas pintunya sebelum diletakkan didepan rumah untuk pengangkutan. Dapat dikatakan bahwa pemerintah kota Sydney benar benar serius dalam menangani persoalan sampah. Bahkan untuk mengurangi sampah plastik, pemerintah membagi-bagikan setiap rumah dan setiap unit apartemen satu tas kain yang bisa digunakan berbelanja berkali kali. Kalau saja setiap pemerintah daerah yang ada di Indonesia menerapkan pengelolaan sampah seperti ini, maka akan dengan mudah Indonesia menjadi negara yang bersih. Kita di Indonesia hanya giat membersihkan kota kita jika akan diadakan penilaian Adipura atau lomba kebersihan kota dan desa.


Ibnu Batuta, Petualang dari Maroko pada Abad ke 12





Hampir dua abad sebelum Colombus menjelajahi dunia, seorang pemuda Maroko bernama Ibnu Batuta telah melakukannya. Perjalanan yang awalnya hanya akan menunaikan ibadah haji di Mekkah, tetapi kemudian dilanjutkan dengan mengunjungi berbagai negara dibenua Asia dan Afrika, dan kembali pulang ke Maroko setelah 29 tahun kemudian menjadikannya sebagai salah satu pengelana terhebat sepanjang masa. Karena rasa penasaran dan keyakinannya pada Al Quran, Ibnu Batuta telah mengunjungi berbagai negara, dari ujung utara benua Afrika, melewati gurun Sahara yang maha luas sampai kenegara China dan balik kembali ke Maroko.

Ibnu Batuta bernama lengkap Sheikh Abu Abdallah Muhammad Ibnu Abdallah Ibnu Muhammad Ibnu Ibrahim Al-Lawati, telah berkelana selama 29 tahun mengunjungi tiga benua dan 44 negara yang ada pada peta sekarang ini dan menempuh perjalanan sejauh 75.000 mil (± 120.000 km) jauhnya. Sangat luarbisa hebat, mengingat bahwa perjalanannya dilakukan pada abad ke-14. “Saya meninggalkan Tangier, tanah kelahiran saya pada tanggal 13 Juni 1325, bermaksud menunaikan ibadah haji di Mekka…..meninggalkan sahabat sahabatku baik yang lakilaki maupun perempuan, meninggalkan rumahku ibarat seekor burung yang meninggalkan sarangnya.” Demikian catatan Ibnu Batuta pada awal naskah catatan perjalanannya. Perjalanan yang penuh tantangan, kekerasan alam, petualangan, dan juga memori indah yang direkam dan ditulisnya dalam catatan manuskripnya dalam bahasa Arab yang telah berusia hampir 700 tahun yang masih tersimpan di Bibliothèque Nationale (Perpustakaan Nasional) di Paris, Prancis.

Di Tangier Maroko tempat asal Ibnu Batuta, dia sangat terkenal. Dekat Stadion Tangier terdapat bentuk Globe kecil yang menandai kediaman Ibnu Batuta yang kecil. Juga terdapat Hotel Ibn Battuta di Jalan Rue Magellan, dibagian bawah perbukitan ada burger Ibn Battuta dan Cafè Ibn Battuta. Ferry yang menghubungkan Spanyol dengan Maroko menyeberangi Selat Gibraltar juga bernama M.V. Ibn Battuta.

Perjalanan Ibnu Batuta berawal dari Tangier, Maroko ke Mekka sejauh 3000 mil (± 4800 km) dengan menggunakan Caravan dan beberapa unta menyeberangi negara Algeria, Tunisia dan Libya selama sepuluh bulan lamanya baru sampai di Alexandria (Iskandariah) Mesir. Ibnu Batuta menggambarkan pelabuhan laut Alexandria yang indah dan reruntuhan lampu mercusuar yang terkenal sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia waktu itu. Disetiap daerah persinggahannya, dia selalu menemui ulama atau tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat. Pada saat bermalam di lembah Delta sungai Nil di Mesir, disebuah kampung kecil bernama Fuwa, Ibnu Batuta menginap ditempat (semacam tenda) Sheikh Abu Abdullah Al-Murshidi seorang peramal. Pada malam itu, Ibu Batuta menulis dicatatannya, “Saya bermimpi berada diatas sayap seekor burung raksasa yang menerbangkanku sampai ke Mekka, dan kemudian membawaku ke Yaman….kemudian membawaku terbang jauh ke negri timur yang masih gelap dan hijau dan meninggalkanku disana.” Anehnya keesokan harinya, Sheikh Abu Abdullah ternyata mengetahui mimpi Ibnu Batuta tanpa diberitahu sebelumnya dan meramalkan bahwa Ibnu Batuta akan berkelana ke negri Orient (Timur Jauh). Ibnu Batuta juga dengan gembira berminat melakukan perjalanan sesuai dengan mimpinya dan memberinya sejumlah bekal kue kue dan koin perak. Selanjutnya Ibnu Batuta melanjutkan perjalanan ke Kairo yang digambarkannya lewat catatannya bahwa penduduk Kairo, “mengalir bagaikan ombak dilautan dijalan jalan sempit Kairo dan ada 12.000 pembawa air, 30.000 porter pengangkut barang, ada 36.000 perahu memenuhi Sungai Nil, dan terdapat Rumah Sakit yang gratis untuk rakyat…” Yang mengherankan, nampaknya Ibnu Batuta tidak sempat ke Piramida Giza karena pada catatannya, disebutkan Piramida Mesir yang terkenal itu berbentuk seperti kerucut.

Rute Perjalanan Ibnu Batuta:

1325 – 1327 : Berangkat dari Tangier (Maroko) menuju Mekka (Arab Saudi) dengan melewati kota: Algiers (Aljazair), Tunisia, Tripoli, Benghazi, Alexandria, Fuwa, kota kota kecil di Mesir, dan melanjutkan ke Jeddah, Mekka dan Medina. Kemudian melanjutkan ke Betlehem, Jerussalem, Gaza, An-Najaf, Shiraz, Basrah, Mosul, Baghdad dan Tabriz (kota kota terakhir ini ada di Iraq sekarang).

1327 – 1330 : Pelayaran ke Afrika timur dari Mekka menyeberang ke Suakin (di Mesir), berlayar ke Sanaa (Yaman), Taiz, Aden, lanjut ke Mogadishu di Afrika, Mombasa, Kilwa (Tanzania sekarang), kembali ke Zafar (Arab Saudi atau Yaman (?)) kemudian ke Sur dan Muscat (di Oman) dan ke Hormuz lagi Bahrain dan berakhir di Arabia.

1330 -1333 : Perjalanan panjang ke India, melalui Anatolia (Turki sekarang) dan kota Asia tengah, kota kota di Rusia, Uzbekistan, Bukhara, Samarkand, Kunduz, Balkh, Herat, Neyshabur, Kabul dan Ghazni di Afghanistan, Mustand, Lahari dan berakhir di Kesultanan Delhi di India.

1333 – 1341 : Menetap selama beberapa tahun di India, dan mengunjugi kota kota di India seperti Alligarh, Ujjain, Daulatabab, Gandhar, Cambay Honavar, Calicut (Kalkutta?), kemudian berlayar ke negara kepulauan Maldives (Maladewa) dan mengunjungi Ceylon (Srilangka).

1341 – 1349 : Berlayar ke Bengal (Bangladesh) Shyhet, Sonargaon, Chittagong, ke Samudra Pasai di Aceh (Sumatra, Indonesia sekarang), melewati selat Malaka dan Laut China Selatan, singgah di Vietnam, lanjut ke Guang Zhou (Canton), melanjutkan Hangzhou dan sampai ke Beijing, kemudian balik dengan jalur sama, Lautan Hindia, laut Arab, teluk Persia, lanjut dengan jalan darat ke Hormuz, Isfahan (Iran), Basra, Baghdad, Palmyra, Damascus, Palestina dan Israel, kembali ke Medina dan Mekka, , menyebrang ke Mesir, Libya, singgah di Cagliari dikepulauan Sardinia sebelum kembali ke Maroko ke kampunghalamannya di Tangier.

1349 – 1354 : Menyeberang ke Spayol mengunjungi Malaga dan Granada, kembali ke Maroko, dan lanjut ke Marrakech, lalu berkelana ke kerajaan kecil di gurun Sahara seperti Sijilmasa, Terhazza, Oualata, Kesulatanan Mali, Timbuktu, Gao, Azelik, pegunungan Hoggar di Sahara lalu kembali ke Fez dan berakhir di Tangier.

Banyak nama kota dalam catatan Ibnu Batuta yang mungkin sudah berubah nama sekarang. Tentang kota Gaza di Palestina, Ibnu Batuta mencatat, “kotanya luas dan penduduknya banyak alun alun kota yang indah dan juga banyak Mesjid.” Palestina diuraikan oleh Ibnu Batuta, “Saya mengunjungi Betlehem tempat kelahiran Isa Al Masih.” Dalam catatannya Ibnu Batuta juga banyak menceritakan tentang perjalanannya ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Ibnu Batuta juga sempat menjadi Hakim selama tujuh tahun di Kesultanan India, dan juga pernah diangkat Hakim di Maldives oleh Ratu Maldives yang bernama Khadija waktu itu. Selama di Maldives atau Maladewa, Ibnu Batuta mencatat detail tumbuhan dan ikan serta bagaimana pakaian atau fashion wanita. “Kebanyakan penduduk hanya mengenakan penutup alat vital, dan dengan santainya berjalan jalan di pasar dengan pakaian seperti ini. Sebagai hakim di pulau ini, saya menganjurkan para wanita untuk lebih menutup tubuhnya tapi tidak berhasil.” Demikian yang catatannya tentang Maldives. Di negara pulau ini, Ibnu Batuta sempat punya istri 4 orang dan beberapa selir.

Ibnu Batuta sempat singgah di Kerajaan Samudra yang menurut sejarahwan, di Aceh sekarang. Sayang sekali karena tidak banyak catatannya tentang kota Samudra dan Sumatra. Dicatatannya, Ibnu Batuta sempat menulis tentang Pelabuhan Tawalisi, yang tidak bisa ditemukan namanya di peta, baik peta yang lama maupun yang baru. Di pelabuhan ini, dia disambut oleh seorang Putri raja yang “cakap berperang seperti laki laki dan memiliki banyak budak perempuan.” Ibnu Batuta diberi hadiah jeruk lemon, beras, lada dan dua ekor kerbau untuk bekal berlayar ke negeri China.
Pengalamannya di negeri China banyak ditulisnya dalam catatan. “China adalah negeri teraman dan terbaik dalam aturan aturan (regulasi) untuk para pengelana (turis).” Dia mencatat, “…sutra banyak dipakai bahkan oleh para biksu maupun pengemis. Porselinnya adalah yang terbaik yang pernah dibuat.” Bahkan Ibnu Batuta terheran heran dengan unggas yang ada di China, “ayam di China lebih besar daripada angsa di negeri kami.”

Masih banyak lagi catatan Ibnu Batuta selama berkelana, termasuk ketika berada di kerajaan Islam di gurun Sahara, saat kapal perahunya terkena badai dan menewaskan salah seorang anaknya di perairan India dan pengalaman lainnya dinegara lain. Catatan itu terlalu panjang untuk diuraikan di blog ini. Namun penulis tetap berharap bahwa tulisan ini bisa menambah khasanah pengetahuan kita terutama tentang petualangan seorang muslim bernama Ibnu Batuta kuranglebih 700 tahun lalu.

(Tulisan ini saya terjemahkan dan sarikan dari Majalah National Geographic Volume 180, No. 6 Desember 1991, ditulis oleh Thomas J. Abercrombie, penulis senior di National Geographic.



Etika Bertelepon Seluler yang Terabaikan


Saat ini hampir semua orang memiliki telepon selular atau telepon genggam (HP). Telepon seluler bukan lagi barang mewah. Tukang becak yang sering bergerombol diujung jalan menunggu penumpangpun hampir semua memilikinya. Malah pernah saya melihat salah satu diantara mereka memainkan Hp-nya yang qwerty-pad sambil menunggu penumpang. Hp-nya g lebih canggih dari Hp-ku yang hanya Nokia Classic 3110 dan bukan qwerty-pad.
Karena hampir semua orang memiliki, maka orang cenderung menggunakannya tanpa melihat situasi dan kondisinya. Pokoknya begitu berdering, angkat, bicara (kalau perlu dengan keras) tanpa peduli tatapan orang. Begitu banyak orang yang tidak tahu etika menggunakan Hp. Saya, meskipun bukan pejabat di kantor, tapi sering diutus mengikuti pertemuan, rapat, seminar atau workshop yang dihadiri oleh pejabat pejabat eselon 2, 3, dan 4 atau bahkan Gubernur, Wakil Gubernur dan Ketua DPRD. Pada pertemuan itu, seringkali saya melihat orang, saat pejabat sedang berbicara, mereka tetap saja menerima telepon dan berbicara, meski mereka berusaha mengecilkan suaranya dan menunduk agar tidak terlihat, tapi tetap saja mengganggu. Seakan akan dia mengatakan bahwa, telepon itu lebih penting dari pembicara didepan. Mungkin juga dia berpikiran bahwa dia lebih penting dari pembicara.
Pernah pula dikantor saya (salah satu kantor pemerintah), pada acara sosialisasi yang dihadiri oleh pejabat eleson 2, 3 dan 4, sementara pembicaranya adalah pejabat eselon 1 dari Jakarta. Salah seorang pejabat eselon 2 dengan santainya menerima dan bertelepon dengan volume suara besar dan cukup lama. Orang orang didekatnya sudah ber “shsh” kepada sang tamu, dia (seorang pejabat perempuan) tetap saja berbicara, sampai sampai pejabat eselon 1 itu menghentikan pembicaraannya untuk sementara.
Ada beberapa tempat dimana sangat tidak sopan melakukan pembicaraan di Hp, misalnya saat rapat, seminar, dikelas, ditempat ibadah, dikendaraan umum atau sambil berkendaraan kecuali menggunakan handsfree. Kalau berkendaraan, bukan hanya tidak sopan, tapi juga berbahaya, karena konsentrasi terbagi. Di Singapura, orang mengemudi mobil sambil bertelpon seluler meskipun menggunakan handsfree tetap saja kena denda. Di Indonesia, orang bahkan naik motor sambil ber-SMS. Di Australia dulu semasa kuliah disana, dikelas ada tanda larangan menggunakan Hp, tapi siapa yang paling sering berdering Hp-nya? Ternyata mahasiswa Asia dari China, Indonesia, Thailand, Vietnam. Orang bule tidak pernah berdering Hp-nya dikelas dan malah banyak bule yang tidak memiliki Hp. Pernah dikelas ada mahasiswa bule asli Australia, kebetulan istrinya di rumahsakit bersalin. Ketika pelajaran akan dimulai, dia meminta izin ke dosen agar dibolehkan menghidupkan Hp-nya, tetapi tetap silent, hanya getar saja, karena sedang menunggu kabar dari rumahsakit. Kalau orang barat, meskipun sedang menunggu kabar penting tapi tetap men”silent’kan Hp-nya, lalu mengapa kita kebanyakan orang Indonesia sangat susah menon-aktifkan Hp, apalagi mematikannya disaat sedang mengikuti acara penting?


Colliq Pujie




Colliq PujiĂ© atau lengkapnya Retna Kencana Colliq PujiĂ© Arung Pancana Toa MatinroĂ© ri TucaĂ©, adalah seorang perempuan bangsawan Bugis yang hidup pada abad ke-19. Beliau bukan hanya bangsawan, tetapi juga pengarang dan penulis, sastrawan, negarawan, politikus yang pernah menjalani tahanan politik selama 10 tahun di Makassar, Datu’ (Ratu yang memerintah) Lamuru IX, sejarahwan, budayawan, pemikir ulung, editor naskah Lontara Bugis kuno, penyalin naskah dan sekretaris (jurutulis) istana kerajaan Tanete (di Kabupaten Barru sekarang). Menurut sejarahwan Edward Polinggoman, dalam diri Colliq PujiĂ© mengalir darah Melayu dari Johor. Sejak abad ke-15 sudah ada orang Melayu yang menetap dan berdagang di Barru dan akhirnya kawin mawin ditanah Bugis.

Tidak banyak catatan sejarah yang membahas tentang diri pribadi Colliq Pujié. Mungkin saja beliau tidak dikenal sampai sekarang kalau saja, ia tidak membantu Benjamin Frederick Mathes dalam menyalin naskah kuno I La Galigo yang menjadi salah satu karya sastra (epos) yang monumental dari suku Bugis yang mendunia. Colliq Pujié-lah yang membantu B.F. Mathes, seorang missionaris Belanda yang fasih berbahasa Bugis waktu itu, selama 20 tahun menyalin naskah Bugis dan epos I La Galigo yang panjang lariknya melebihi panjang epos Ramayana maupun Mahabrata dari India. Selain epos I La Galigo yang terdiri dari 12 jilid, ada ratusan naskah Bugis kuno lainnya yang disalin oleh B.F. Mathes dan kemudian dibawa dan tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden Belanda sampai sekarang. Penyalinan sebagian besar naskah tersebut dibantu oleh Colliq Pujié, sehingga riwayat hidup Colliq Pujié sedikit demi sedikit terkuak oleh tulisan B.F. Mathes. Colliq Pujié bahkan juga menyadur karya sastra dari Melayu dan Parsi. Colliq Pujié juga menciptakan aksara bilang-bilang yang terinspirasi dari huruf Lontara dan huruf Arab.

Prof. Nurhayati Rahman, seorang Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar dalam bukunya “Retna Kencana Colliq PujiĂ© Arung Pancana Toa 1812-1876, Intelektual Penggerak Zaman” menyayangkan bahwa Colliq PujiĂ© kurang mendapat tempat dihati bangsa Indonesia. Menurut beliau, Colliq PujiĂ© adalah seorang budayawan, intelektual dan sejarahwan Indonesia yang hidup pada abad ke-19 yang terlupakan. Dr. Ian Caldwel sejarahwan dari Inggris bahkan mengatakan bahwa, “terlalu kecil kalau seorang sekaliber Colliq PujiĂ© dikurung dalam tempurung Indonesia, karena ia adalah milik dunia. Namanya tak bisa dipisahkan dari karya epos I La Galigo sebagai ikon kebudayaan Indonesia yang menjadi kanon sastra dunia, yang kemudian menjadi sumber inspirasi banyak orang dalam merekonstruksi sejarah dan kebudayaan Indonesia (Asdar Muis RMS, “Andi Muhammad Rum, Titisan Colliq PujiĂ©”, hal. 13).

Salah satu karya sastra Colliq PujiĂ© berupa kumpulan pantun Bugis yang ditulis dalam aksara bilang-bilang berjudul “Lontara Bilang, Mozaik Pergolakan Batin Seorang Perempuan Bangsawan” telah diterjemahkan dan ditransliterasi oleh H.A. Ahmad Saransi telah diterbitkan oleh Komunitas Sawerigading. Dalam buku tersebut setiap kelong (pantun Bugis) ditulis dalam aksara bilang-bilang, aksara Lontara, transliterasi dalam aksara latin, dan kemudian pengertian dan penjelasan makna kata kata dalam pantun tersebut. Pantun Bugis selalu terdiri dari 3 baris, dimana baris pertama terdiri dari 8 suku kata, baris ke-2 ada 7 suku kata dan baris ke-3 terdiri dari 6 suku kata. Terkadang juga hanya 2 baris namun jumlah huruf lontara-nya tetap 21, atau 21 suku kata dalam transliterasi huruf latin. Pantun Bugis dalam buku ini adalah ungkapan curahan hati Colliq PujiĂ©. Salah satu bait dari 122 bait pantun dalam buku ini sebagai berikut:

Ininnawakku muwita,
Mau natuddu’ solo’,
Mola linrung muwa.

(Lihatlah keadaan bathinku,
Walaupun dihempas arus deras (kesusahan),
Namun aku masih tetap mampu berdiri tegar)

Colliq PujiĂ© juga banyak menulis karya sastra semacam Elong, Sure’ Baweng, Sejarah Tanete kuno, kumpulan adat istiadat Bugis, dan berbagai tatakrama dan etika kerajaan. Menurut sejarah, karyanya yang paling indah adalah Sure’ Baweng yang berisi petuah petuah yang memiliki nilai estetika yang sangat tinggi. Bahkan karyanya tentang sejarah Tanete kuno pernah diterbitkan oleh Niemann di Belanda. Adat kebiasaan kerajaan ditulisnya dalam karya berjudul La Toa diterbitkan oleh Mathes dalam buku Boegineesche Christomatie II. Peneliti Belanda lainnya yang pernah dibantu oleh Colliq PujiĂ© adalah A. Ligtvoet, yang saat itu sedang menyusun kamus sejarah Sulawesi Selatan. Keluasan pengetahuan, kepiawaian, dan kecerdasan Colliq PujiĂ© telah mengangkat derajat intelektulitas orang Bugis dimata orang Eropa pada abad ke-19. B.F. Mathes berkali kali menyebut nama Colliq PujiĂ© sebagai bangsawan Bugis ratu yang benar benar ahli sastra terutama dalam bukunya Macassaarsche en Boegineesche Chrestathien (Kumpulan Bunga Rampai Bugis Makassar).

Tentang I La Galigo, menurut R.A. Kern dalam bukunya Catalogus Van de Boegineesche tot de I La Galigo Cyclus Behoorende Handschriften der Leidsche Universiteit Bibliotheek yang diterbitkan tahun 1939 menyebutkan bahwa epos I La Galigo adalah karya sastra terbesar dan terpanjang didunia setara dengan Mahabrata, Ramayana dari India atau sajak sajak Homerus dari Yunani. Menurut Sirtjof Koolhof pada pengantar buku I La Galigo terbitan Djambatan, naskah I La Galigo terdiri dari 300.000 larik/ bait sementara Mahabrata hanya kurang lebih 200.000 bait.

Sebagai tambahan informasi, di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, tersimpan 4.049 naskah lontara Bugis dan Makassar yang semuanya sudah di microfilm-kan, terdiri dari lontara paseng (pesan), attoriolong (petuah orang dulu), akkalaibinengeng (sex education), kutika (ramalan/ astrologi), tasauf dan ilmu agama, tata cara bercocok tanam, lontara Baddili Lompo (pengetahuan persenjataan dan strategi perang), pengobatan tradisional, tabiat binatang dan arsitektur dan beberapa penggalan kisah dalam epos I La Galigo. Sangat disayangkan bahwa minat mahasiswa sangat kurang untuk meneliti naskah lontara Bugis dan Makassar. Malah banyak peneliti asing dari berbagai negara yang meneliti produk budaya Bugis dan Makassar yang berupa naskah kuno lontara.

Mungkin untuk mengkaji lebih dalam tentang kehidupan Colliq Pujié seseorang harus ke Belanda karena disanalah segala informasi yang terekam yang tersimpan, tentang sosok Colliq Pujié yang mengagumkan.

Gambar: koleksi pribadi (sampul buku terjemahan oleh H.A.Saransi, sampul buku katalog Naskah Nusantara koleksi BPAD Sulsel)


Kisah dari Gedung Tua di Bogor





Pada bulan Januari 2009 lalu, saya diutus oleh kantor untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan (Diklat) di Jakarta. Diklat yang saya ikuti bersama peserta dari berbagai provinsi di Indonesia adalah tentang manajemen. Diklatnya dilaksanakan di Jakarta, tapi tempat menginap para peserta yang dari luar Jakarta ada di Bogor. Setiap pagi sehabis sarapan, kami diantar ke Jakarta, dan sore hari diantar ke Bogor lagi. Diklat ini bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris, karena yang mengajar adalah Professor dari Universitas Leiden, Belanda.


Gedung tempat kami menginap di Bogor adalah gedung tua dari zaman Belanda yang usianya hampir 200-an tahun. Masih ada tulisan berbahasa Belanda dibagian depan gedung. Gedung dibagian belakang yang terpisah adalah wisma tempat menginap peserta, juga merupakan gedung tua bangunan Belanda juga, berlantai dua. Dua gedung yang disampingnya adalah gedung baru yang dibangun oleh salah satu Instansi pemerintah pusat, sebagai tempat pendidikan dan pelatihan.
Kami peserta diklat yang menginap di Bogor berjumlah 8 orang, 5 orang dilantai 1 dan 3 orang dilantai 2 termasuk saya. Masing masing satu orang satu kamar, meskipun setiap kamar diperuntukkan untuk 2 orang. Kamar yang saya tempati persis disamping tangga turun. Malam pertama kami tidak merasa ada yang aneh, meskipun sebenarnya saya sudah mulai bertanya tanya dalam hati, kenapa cleaning service (atau panitia Diklat?) itu tengah malam belum tidur dan masih sibuk bolak balik naik tangga. Tapi saya pikir, mungkin karena mereka (panitia termasuk cleaning service) masih sibuk dengan persipan acara Diklat, jadi sampai tengah malam masih terus bekerja.


Esok harinya, saat sarapan iseng iseng saya tanya pada petugas ruang makan kenapa panitia bolak balik naik kelantai dua sampai tengah malam. Petugas ruang makan, seorang ibu paruh baya, mengatakan bahwa, tidak ada panitia maupun cleaning service yang bermalam, atau yang bekerja sampai tengah malam. Mereka sudah pada pulang kerumah masing masing pada sore hari menjelang magrib. Hanya petugas ruang makan yang tinggal sampai acara makan malam selesai. Jadi siapa yang bolak balik naik turun tangga tadi malam? Paling teman peserta dari Maluku dan Sumatra itu. Habis sarapan, kami pun diantar ke Jakarta mengikuti Diklat sampai sore.


Malam kedua, sehabis makan malam, kami ngobrol sampai larut malam, mengenai diklat tadi di Jakarta. Ternyata hampir semua peserta tidak begitu bisa menangkap apa yang dibicarakan oleh Professor dari Belanda itu. Saya kemudian didaulat untuk menjelaskannya dengan berdasarkan slide powerpoint yang dibagikan. Saat sudah hampir jam 12 malam, kamipun masuk kekamar masing untuk tidur. Karena lelah, saya cepat tertidur, tapi terbangun, sekitar jam 2.30 dinihari oleh suara ribut detak sepatu orang naik dan turun tangga. Saya mencoba bangkit dari tempat tidur mendekati dan membuka pintu. Tidak ada orang, sunyi senyap. Dua orang teman lain juga sudah tidur, karena nampak gelap ruangannya. Tidak ada nampak cahaya setitikpun dari celah bagian bawah pintu ruangan mereka. Saya kemudian balik tidur sambil menutupi telinga dengan bantal dan terbangun setelah terdengar azan subuh dari mesjid disekitar.


Pada malam ketiga, saat saya shalat Isya dikamar sehabis makan malam, pada rakaat kedua, tiba tiba sepertinya ada yang meniup bagian belakang kepala dan telinga saya dan disertai dengan suara menderu seperti orang yang meniup lilin dengan keras. Shalat kuhentikan sementara, lalu saya ambil al-quran dan membaca ayat kursi dan surah yasin, kemudian saya Shalat Isya lagi. Mencoba tidur lagi, tapi tidak bisa, saya keluar kamar, dan melihat kamar teman dari Sumatra masih menyala. Kuketuk pintunya dan dia memang belum tidur, katanya lagi membaca slide yang dipelajari tadi. Kami akhirnya berdiskusi sampai saya tertidur di ranjang sebelahnya.


Esok pagi, saat dalam perjalanan ke Jakarta, terungkaplah cerita cerita seram dari teman teman peserta lainnya. Peserta dari Maluku, mengaku, pada saat dinihari, dia didatangi oleh seseorang berpakaian serba putih dan diajak bersalaman, dan dia yakin tidak sedang tertidur atau mimpi saat itu. Ada juga teman dilantai satu yang mengaku melihat sosok perempuan berambut pirang sepertinya masuk kesalah satu kamar. Padahal tidak ada peserta diklat perempuan dan panitia yang perempuan tidak ada yang menginap dan tidak ada yang berambut pirang. Salah seorang panitia akhirnya menceritakan tentang riwayat gedung tua tersebut yang katanya dijagai atau ditunggui oleh hantu perempuan Belanda, dan termasuk lokasi tempat pemenggalan kepala para tahanan pribumi oleh tentara Jepang saat perang dunia ke-2 yang lokasinya tepat disamping gedung tempat kami menginap. Katanya lagi, setiap kali Diklat pasti banyak peserta yang melihat atau mendengar sesuatu yang menakutkan. Tapi kemudian dia menambahkan, bahwa jangan terlalu dipikirkan, karena belum pernah ada kejadian fatal dalam pelaksanaan diklat disini.

Takalar Kini dan Esok, Paradigma Baru Bupati Zainal

Buku : Takalar Kini & Esok, Paradigma Baru Bupati Zainal Editor : Andi Wanua Tangke dan Usman Nukma Penerbit : Pustaka Refleksi Te...

Popular Posts