Tragedi di Malam 17 Agustus


Pernahkah anda berada pada suatu peristiwa dimana kemudian terjadi pembunuhan? Semoga saja tidak. Kisah ini adalah kejadian nyata yang terjadi puluhan tahun lalu ketika saya masih SMP dikampunghalaman saya di PalattaE, Bone bagian selatan, diawal 1980an. Kejadian yang begitu membekas dalam ingatan saya yang saat itu baru beranjak dari masa kanak kanak ke masa remaja.


Tanggal dan tahun peristiwa tersebut sudah tidak kuingat lagi, karena sudah puluhan tahun berlalu. Yang saya masih ingat adalah malam itu malam perayaan 17 Agustus. Menjelang 17 Agustus, keadaan ibukota kecamatan Kahu yaitu Palattae ramai karena kedatangan para peserta perkemahan dari semua desa di Kecamatan Kahu. Waktu itu ada 10 desa. Sekarang ini sudah lebih dari 10 karena banyak desa baru hasil pemekaran. Peserta perkemahan mulai dari SD, SMP dan SMA. Kalau siang hari diadakan lomba olahraga seperti sepakbola, volly, sepak takraw dan lain lain, maka pada malam hari adalah lomba seni. Ada lomba baca puisi, tari, seni suara, folk song, qasidah.
Pada malam kejadian itu, saya mengajak ibu saya untuk pergi ke kantor kecamatan tempat perlombaan seni berlansung. Baru kali itu juga ibuku mau pergi menonton, dan ayahku tinggal dirumah, karena ada beberapa orang tetangga yang datang ngobrol dirumah. Biasanya ayah dan ibuku baru datang keperayaan jika malam penutupan tiba, ketika para pemenang perlombaan diumumkan dan diberi hadiah. Malam penutupan biasanya akan dihadiri oleh pak Camat dan unsur pimpina kecamatan lainnya.


Suasana malam itu seperti biasa, masih remang remang didepan kantor Kecamatan. Listrik sudah ada tapi belum maksimal digunakan. Bagian yang paling terang hanya diteras kantor camat, dimana semua pertunjukan berlansung. Sementara bagian penonton hanya sedikit yang diterangi lampu. Bersama ibuku, saya memilih bagian kiri pintu masuk kantor camat, tidak jauh dari dekker yang ada dipinggiran jalan poros. Tempatku berdiri sebenarnya kurang strategis karena saya tidak bisa melihat secara keseluruhan peserta lomba. Apalagi banyak orang dewasa yang lebih tinggi badannya dibagian depan. Tapi saya dan ibuku tidak bisa lagi lebih kedepan karena padatnya pengunjung. Perayaan yang hanya sekali setahun membuat para pengunjung berdatangan dari berbagai desa disekitar, bahkan dari kecamatan sebelah yang desanya dekat dari Palattae.


Belum lama kami berdiri menonton, tiba tiba terjadi kepanikan dari para penonton. Ya, terjadi penikaman terhadap salah seorang penonton laki laki. Tempat kejadian itu tidak jauh dari tempatku berdiri bersama ibuku, karena saya masih mendengar korbannya berteriak teriak, “mate’na…mate’na” (mati aku mati aku!). Suasana remang remang, sehinga saya tidak bisa melihat pelaku dan korban, tapi jaraknya dekat sehingga jeritan korban masih kudengar jelas sebelum tenggelam oleh suara penonton lainnya yang berlarian dengan kepanikan luar biasa. Secara spontan ibuku meraih tanganku dan dengan berlari kecil kami pulang kerumah. Sayup sayup masih kudengar keriuhan suasana. Sampai dirumah, ibuku memberitahukan ayah dan tetangga lain yang ada dirumahku tentang kejadian tersebut. Kebanyakan penonton langsung berlarian pulang kerumah, sebagian lagi lari masuk kekantor camat.


Esok paginya, orang orang masih membicarakan peristiwa mengerikan tersebut. Korban penikaman, meninggal dunia dan saya dan beberapa teman SMP masih sempat melihat ceceran darah korban dijalan raya. Korban pada malam kejadian diangkat menggunakan tandu, karena waktu itu Puskesmas (pusat kesehatan masyrakat) belum memiliki mobil ambulans. Saya sudah lupa siapa nama korban dan siapa pelakunya. Kejadian malam itu masih teringat jelas dalam memori saya meski sudah puluhan tahun berlalu.






Takalar Kini dan Esok, Paradigma Baru Bupati Zainal

Buku : Takalar Kini & Esok, Paradigma Baru Bupati Zainal Editor : Andi Wanua Tangke dan Usman Nukma Penerbit : Pustaka Refleksi Te...

Popular Posts