Tuz Golu, Danau Garam, Salt Lake, Turki






 Danau Tuz atau dalam bahasa Turki disebut ‘Tuz Gölü’ adalah salah satu danau garam (Salt Lake) terluas di dunia. Luasnya sekitar 1665 km² dengan panjang 80 km. Danau terluas kedua di Turki. Lokasinya di bagian Provinsi Anatolia tengah, sekitar 150 km di selatan tenggara kota Ankara dan 105 km di bagian utara timur laut kota Konya. Wisatawan yang naik bus dari Konya atau Kapadokya ke Istambul biasanya akan singgah di danau garam ini.

Sepanjang tahun, air garam danau ini sangat dangkal hanya sekitar 0,4 meter. Selama musim panas, danau akan mengering dan memunculkan lapisan lapisan garam setebal 30 cm. Garam dari danau ini memenuhi kebutuhan 63% warga Turki.

Pada pintu masuk ke danau ini, terdapat toko suvenir yang juga menjual berbagai macam kosmetik berbahan dasar garam. Di sekitar danau terdapat 3 industri pengolahan garam yang memproses dan mendistribusikan garam ke seluruh wilayah Turki.

Pada tahun 2001 ‘Tuz Gölü’ dijadikan ‘daerah yang dilindungi’ termasuk seluruh permukaan danau, dan tempat tempat di sekitarnya, terutama karena tempat tersebut adalah tempat sekumpulan burung Flaminggo (Phoenicopterus roseus) dan angsa putih berkembang-biak. Konon kabarnya, zaman dulu burung burung yang terbang diatasnya akan mudah ditangkap karena sayap burung burung tersebut akan terbebani dengan butiran garam yang melengket pada sayapnya menyebabkan mereka tidak bisa terbang tinggi.  (Diterjemahkan dan disarikan dari berbagai sumber / foto: koleksi pribadi)



Makam dan Museum Maulana Muhammad Jalaluddin Rumi, Konya, Turki









Hierapolis, Pamukkale, Denizli Turki












The Hagia Sophia (Masjid Ayasofya) Istambul, Turki


Hagia Sophia dari arah pintu masuk Istana Topkapi

Sore hari di hari Jumat 30 Oktober 2020, ditengah gerimis dan hawa dingin musim gugur di Istambul,  dari  Istana Topkapi saya dan teman teman dari Indonesia lainnya,  berbaris menuju Masjid Aya Sofya (Hagia Sophia). Gedung klasik berusia ribuan tahun ini berdekatan dengan Istana Topkapi, istana para penguasa kekaisaran Daulah Utsmaniyah (Ottoman Empire). Karena hujan, kami menggunakan spanduk travel sebagai payung. Spanduknya cukup panjang, jadi kami memanjang ke belakang dibawah naungan spanduk tersebut menuju masjid Hagia Sophia. Para pengunjung café yang kami lalui senyum senyum saja melihat kami yang mulai kebasahan kena percikan air hujan. Sepatu snicker yang saya pakai pagi itu sampai basah karena ada beberapa genangan air yang kami lewati. 


Tiba di Hagia Sophia, di pintu samping kanan masjid yang menghadap kesebuah taman dengan air mancur ditengahnya, kami langsung menuju tempat wudhu yang berupa bangunan bundar terpisah dari gedung masjid. Semua serba klasik. Tempat wudhu ini menurut perkiraan saya adalah bangunan tambahan setelah Hagia Sophia dibawa kekuasaan Daulah Utsmaniyah dan mengubah fungsi bangunan dari gereja menjadi masjid. Hagia Sophia dialihfungsikan dari gereja menjadi masjid pada tahun 1453 M ketika kota Constantinople direbut dan ditaklukkan oleh kekaisaran Utsmaniyah.


Kami tiba di Hagia Sophia saat menjelang waktu shalat Ashar tiba, jadi kami para wisatawan muslim menunggu untuk shalat berjamaah Ashar. Selesai shalat, saya jalan jalan keliling dalam ruang masjid yang mengagumkan itu. Lantainya dilapisi karpet warna biru kehijauan, dilengkapi dengan marka marka tempat jamaah shalat yang harus berjarak karena masa Pandemi Covid-19. Sebelum dialihfungsikan kembali menjadi masjid, Hagia Sophia adalah museum, sejak runtuhnya Daulah Utsmaniyah pada tahun 1931 dan menjadi Republik Turki yang nasionalis dan sekuler dibawah pimpinan Kamal Antaturk.


Di dalam bangunan Masjid Aya Sofia bagian depan kiri dan kanan ada kaligrafi nama Allah dan Rasul, namun dibagian atasnya lagi ada gambar mosaik Jesus dan Mary, yang masih kentara kelihatan meskipun ada semacam tirai yang membentang untuk menutupinya. Dibagian  luar juga banyak mosaik mosaik yang masih asli dari masa kekaisaran Bizantium. Bahkan di dalam masjid ada bagian yang dipagari khusus dan tidak boleh diinjak oleh siapapun. Tempat tersebut merupakan tempat suci umat kristiani. Dari berbagai informasi yang saya dapat, penguasa Daulah Utsmaniyah berjanji kepada para petinggi umat Nasrani saat penaklukan Constantinople untuk tidak mengganggu atau mengubah tempat sakral dalam Hagia Sophia tersebut. Dan sampai sekarang, setelah 568 tahun, tempat itu tetap terjaga dengan baik.      


Hagia Sophia dialihfungsikan kembali masjid yang sebelumnya Museum pada Juli 2020 oleh pemerintahan Presiden Recep Tayyib Erdogan. Dengan demikian,  setelah 89 tahun menjadi museum, Hagia Sophia kembali menjadi masjid. Gedung yang awalnya adalah gereja, kemudian menjadi masjid, lalu jadi museum, dan akhirnya kembali lagi jadi masjid.


Sejarah ringkas Hagia Sophia yang saya rangkum dari berbagai informasi di web.


Era Kekaisaran Bizantium: pada masa Kaisar Constantinus berkuasa, Hagia Sophia dibangun, yaitu dari tahun 360-537 dan difungsikan sebagai  Katedral Kristen Ortodoks.

1204 – 1261 M menjadi Katedral Katolik Roma.

1261 – 1453 M menjadi Katedral Kristen Bizantium.

1344 M terjadi gempa bumi yang merusak sebagian gedung.

1453 M Era kekuasaan Daulah Utsmaniyah (Ottoman), Hagia Sophia dialihfungsikan menjadi masjid, interiornya ditambah kaligrafi besar, ditambah mihrab dan 4 menara.

1453 – 1931 M Berfungsi sebagai Masjid

1931 – 2020 M Berfungsi sebagai Museum

Sejak Juli 2020 – sekarang dikembalikan fungsinya menjadi masjid.

Meskipun hanya beberapa jam di masjid Hagia Sophia namun kesannya begitu mendalam. Dari Hagia Sophia kami kemudian jalan kaki ke Masjid Biru yang jaraknya tidak terlalu jauh.

Hagia Sophia yang memesona, yang memukau, yang bersejarah dengan rentang waktu yang ribuan tahun, telah mengukir sejarah peradaban manusia dari berbagai bangsa, ras dan agama. 



Suasana dalam Masjid Ayasofya. 



Suasana dalam masjid saat menunggu shalat Ashar

Saya dengan latar belakang Masjid Ayasofya, Istambul



Masjid Ayasofya saya ambil dari Google.



Kota Kuno Ephesus, Izmir, Turki














Ephesus, Izmir, Turki



Reruntuhan Perpustakaan Celsus di kota kuno Ephesus, yang sekarang termasuk wilayah kota Selcuk di wilayah Izmir, Turki. Perpustakaan ini merupakan salah satu diantara 3 perpustakaan tertua di dunia. Perpustakaan ini dibangun pada tahun 100-117 Masehi, oleh Gaius Iulius Aquila untuk ayahnya yang seorang Senator bernama Tiberius Iulius Celsus Polemaeanus. Perpustakaan kuno ini runtuh pada sekitar tahun 270 M pada saat gempa bumi melanda Ephesus.

Masjid Sultan Selim II Kota Konya, Turki


Salah satu obyek wisata religi yang ada di kota Konya, Turki adalah Masjid Selim. Kami berkunjung kesini pada hari Selasa 27 Oktober 2020 lalu. Yang kami kunjungi sebenarnya adalah Museum Maulana  Jalaluddin Rumi (Mevlana Museum) yang terletak persis di disebelah masjid ini. Kalau kita berada di pintu masuk Museum, atap masjid ini keliatan cukup dekat. Foto ini yang saya ambil dari kamera handphone saya ketika kami sudah akan berangkat ke Cappadokya. Bangunan masjidnya Nampak indah dan klassik khas Turki. Halamannya sangat luas, dan dibagian depan ada perpustakaan.

Sedikit informasi tentang masjid ini. Selimiye Mosque (Masjid Selim atau Masjid Sultan Selim II) di kota Konya (baca: [KON-YA], bukan [KO-NYA]), satu kota kecil di Turki berjarak 706 km dari Istambul. Masjid ini berlokasi disamping Museum dan Makam Maulana Jalaluddin Muhammad Rumi. Masjid  ini diprakarsai pembangunannya oleh Sultan Selim II tahun 1558 saat beliau masih berstatus Pangeran di kekaisaran Usmani (Ottoman Empire). Selesai dibangun pada 1570 saat beliau sudah menjadi Sultan. Masjid tua ini sudah direnovasi sebanyak 3 kali yaitu tahun 1685, 1816 dan terakhir tahun 1914. (diolah dari berbagai sumber).

(diolah dari berbagai sumber).

Masjid Sultan Ahmed, Istambul, Turki



Masjid Sultan Ahmed (dalam bahasa Turki disebut Sultan Ahmet Camii) juga dikenal dengan nama Masjid Biru (Blue Mosque), adalah masjid yang dibangun pada masa kejayaan kekaisaran Usmani (Ottoman) yang terletak di kota Istambul, Turki. Sultan Ahmed I yang menggagas pembangunannya dengan menggunakan jasa seorang Arsitek bernama Sedefkar Mehmet Aga. Pembangunannya membutuhkan waktu selama 7,5 tahun dari 1609 – 1617. Sultan Ahmed I adalah sultan ke-14 Kekaisaran Usmani dan menerima tahta pada usia 14 tahun, dan masjid megah ini dibangun pada saat sang Sultan berusia 19 tahun. Sultan menunjukkan kecintaannya pada masjid ini dengan turut serta menjadi buruh yang bekerja pada proyek pembangunannya. Sultan Ahmed I menguasai negeri Usmani yang terletak di 3 benua waktu itu (Asia, Eropa dan Afrika) selama 14 tahun dan wafat pada usia muda, 28 tahun.

Yang juga unik dan menarik adalah menara masjid (minaret). Ada 6 menara, 4 diantaranya setinggi 73 meter, dan 2 setinggi 60 m. Ke-6 menara ini masing masing memiliki balkon yang pada zaman dulu, digunakan untuk para muazzim untuk azan kesegala penjuru Istambul. Ada 16 muazzim yang azan secara bersamaan menghadap ke berbagai arah, setiap waktu shalat tiba. Sekarang diera modern hanya satu muazzim namun tetap dilakukan dibagian bawah salah satu menara. Masjid besar ini memiliki ruang shalat berukuran 53,50m x 49,47m dan mampu menampung 10.000 orang jamaah sekaligus.



(diterjemahkan dari brosur pariwisata Masjid Sultan Ahmed).

Masjid Ulu Camii, Kota Bursa, Turki



Masjid Ulu Camii atau Bursa Grand Mosque (Masjid Agung Bursa) berlokasi di Atatürk Boulevard di kawasan kota tua Bursa, Turki. Masjid ini merupakan icon atau landmark kota Bursa, sebuah kota yang terletak di perbukitan sekitar 155 km dari Istambul dan ditempuh dalam waktu 2,5 jam naik bus. Masjid tua ini menjadi obyek wisata religi di kota Bursa dan ramai dikunjungi oleh turis dan berbagai provinsi di Turki maupun dari berbagai negara. Bangunan Masjid ini sudah masuk dalam Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO sejak 2014 lalu.

Interior Masjid Ulu Camii 
Bangunan masjid ini unik dengan dua menara yang menjulang tinggi dikiri dan kanan belakang, dan 20 kubah berjajar 4x5. Salah satu kubah dibagian tengah adalah kubah kaca, sehingga sinar matahari bisa langsung masuk kedalam masjid. Persis dibawa kubah kaca ini, ada air mancur yang berada ditengah masjid yang juga merupakan tempat wudhu jamaah laki laki.

Masjid Ulu Camii berarsitektur perpaduan antara gaya khas bangsa Seljuk dan Usmaniyah (Ottoman) selesai dibangun pada tahun 1399. Masjid ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Yildirim Bayezid I yang menjadi Sultan Usmaniyah antara tahun 1389 -1402. Sultan memerintahkan arsitek terkenal waktu itu bernama Ali Neccar. Masjid ini dibangun setelah Sultan memenangkan perang di Nicopolis (Battle of Nicopolis). Nicopolis ini sekarang menjadi negara Bulgaria yang berbatasan langsung dengan Turki. Dikisahkan oleh Guide kami, Ibrahim, orang Turki yang fasih berbahasa Indonesia, bahwa, Sultan berjanji akan membangun 20 Masjid jika memenangkan perang di Nicopolis, dan ternyata memang berhasil menang. Sayang sekali karena keuangan negara (kekaisaran Usmaniyah) waktu itu tidak mencukupi untuk membangun 20 masjid, akhirnya hanya satu yang dibangun namun dengan 20 kubah. Akhirnya terwujudlah masjid Ulu Camii ini di kota Bursa.

Keunikan masjid ini adalah begitu banyak kaligrafi Arab yang indah pada dinding maupun pilar pilarnya. Jumlah Kaligrafi didalam masjid adalah 192 kaligrafi dalam berbagai gaya dan aliran dan masuk sebagai koleksi kaligrafi terpenting didunia. Mimbar dan mihrabnya juga luar biasa indahnya, terbuat dari kayu berukir dengan warna keemasan.
Disekitar masjid banyak penjual souvenir khas Turki dan Bursa. Diantara para penjual souvenir itu ada beberapa yang menawarkan dagangannya dalam bahasa Indonesia, mungkin karena wisatawan dari Indonesia yang terbanyak. Wallahualam! (Diolah dari berbagai sumber: guide Ibrahim, wikipedia, blog tourketurki/ Foto: koleksi pribadi dan tourketurki.com)

Muslim Pertama Jepang



Abdul Halim Noda, orang Jepang pertama yang diketahui memeluk Islam. Dia menjadi Muallaf setelah berkunjung ke Istambul, Turki pada tahun 1891. Torajiro Noda, wartawan muda Jepang datang ke Istambul dan bertemu Sultan Abdul Hamid II yang memintanya untuk mengajar bahasa Jepang kepada pegawai kesultanan Usmaniyah (Ottoman). Selama berada di Istambul dia bertemu dengan Abdullah Qulliam yang juga seorang Muallaf, yang kemudian memperkenalkan Islam kepada Noda. Akhirnya sang wartawan muda memeluk Islam dan mengubah namanya menjadi Abdul Halim Noda.

(Diterjemahkan dari The Muslim Archives).


Sejarah dan Budaya Sulawesi Barat


Judul : Sejarah dan Budaya Sulawesi Barat

Penulis : Edward L. Poelinggomang

Penerbit : De La Macca bekerjasama dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kota tempat terbit : Makassar

Tahun terbit : 2012

ISBN :  978-602-263-006-7

Sulawesi Barat meskipun sudah menjadi suatu provinsi tersendiri, namun dalam hal dokumentasi sejarah, provinsi ini masih tetap bagian dari provinsi Sulawesi Selatan. Buku sejarah dan budaya Sulawesi Barat ini dapat dimasukkan dalam koleksi lokal Sulawesi Selatan. Secara administratif, daerah ini baru terbentuk menjadi provinsi yang otonom sejak tahun 2004 dan menjadi salah satu provinsi termuda di negara kesatuan Republik Indonesia. Terbentuknya provinsi ini berkat kegigihan tokoh tokoh masyarakatnya untuk membentuk daerah otonom sendiri yang terdiri dari 7 kerajaan di pesisir dan 7 kerajaan di pedalaman.

Penulis membagi buku ini dalam 6 bab atau bagian. Diawali dengan Kata Pengantar dari Penerbit dan Penulis, lalu Bab I yang terdiri dari Pendahuluan, latar penelitian, batasan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian. Dari bab pertama ini pembaca dapat mengambil kesimpulan bahwa buku ini diselesaikan setelah diadakan penelitian sebelumnya.

Latar Belakang kehidupan masyarakat Sulawesi Barat dibahas pada bab ke-2. Pada bagian ini diuraikan oleh penulis tentang fakta fakta geografis Sulawesi Barat, misalnya luas masing masing kabupaten, dan nama nama sungai yang ada di daerah tersebut. Mata pencaharian masyarakat Sulawesi Barat juga dijelaskan pada bab ini. Penulis menguraikan bahwa mata pencaharian utama masyarakat Sulawesi Barat adalah petani, baik petani sawah (pertanian basah) maupun petani ladang/kebun (pertanian kering).  Selain itu juga banyak yang mengelola hasil hutan dan hasil laut. Kondisi sosial masyarakat dan budaya politik juga dibahas pada bagian ini.

Bab ke-3 dibahas tentang Perkembangan awal kerajaan kerajaan di Sulawesi Barat. Diawali dengan budaya politik lokal, pembentukan persekutuan kerajaan, pelapisan sosial dan juga tentang motto ‘Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh’. Pada sub bagian Budaya Politik Lokal, diuraikan tentang gagasan ‘Tumanurung’ sama seperti daerah kerajaan lain di Sulawesi Selatan. Pada sub bagian ‘pelapisan sosial’ diuraikan bahwa ada 4 lapisan sosial pada masyarakat Mandar di Sulawesi Barat, yaitu 1). Todiang Laiyana atau Bangsawan, 2). Tau Pia atau manusia pilihan, 3). Tau Samar (manusia biasa) dan 4). Batuwa atau hamba sahaya.

Pada bagian keempat, adalah Periode Kemandaran dimana ada sub bagian Dunia perdagangan maritim, Syiar Islam, Persentuhan dan penjajahan. Pada bagian ini ada pembahasan tentang persekutuan kerajaan kerajaan di Mandar. Ada persekutuan 7 kerajaan di Muara Sungai (Pitu Babanga Binanga) dan persekutuan 7 kerajaan di hulu sungai (Pitu Ulunna Salu). Pada bagian ini juga dibahas sejarah perdagangan Mandar dan hubungannya dengan kerajaan Gowa, terutama pada masa pemerintahan Daeng Manre Karaeng Manguntungi Tumaparrisi Kallonna (1510 – 1546). Raja Gowa ini berdarah Mandar karena ibunya adalah putrid seorang pedagang dari Balanipa.

Bab ke-4 dan ke-5 adalah dua bab terakhir yang pada buku ini membahas tentang bagaimana keadaan Sulawesi Barat pada masa periode awal kemerdekaan, dan ketika terbentuknya Provinsi Sulawesi Barat. Pada kedua bab ini diuraikan tentang perjuangan kemerdekaan, penataan administrasi pemerintahan, perjuangan pembentukan / pemekaran wilayah sampai terbentuknya Provinsi Sulawesi Barat.

Penulis cukup lengkap menguraikan informasi informasi tentang Sulawesi Barat dari berbagai aspek. Sangat perlu dibaca bagi masyarakat Sulawesi Barat, khususnya suku Mandar dan terkhusus lagi bagi para generasi muda Mandar.

Buku ini koleksi Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Sulawesi Selatan, unit layanan perpustakaan, Jalan Sultan Alauddin, Tala’Salapang, Makassar.




Makassaars - Nederlands Woordenboek

Judul : Makassaars – Nederlands Woordenboek

Penulis : A.A. Cense berkerjasama dengan Abdoerahim

Penerbit : Martinus Nijhoff

Kota tempat terbit : ‘S Gravenhage (Den Haag, Belanda)

Tahun Terbit : 1979

Jumlah Halaman : xxxi + 989

Ukuran : 16 x 24,5 cm

Bahasa : Belanda dan Makassar

ISBN : 90-247-2320.5

Salah satu jenis buku referensi yang banyak dicari pemustaka atau pengunjung perpustakaan adalah buku Kamus. Pengadaan buku kamus pada suatu perpustakaan sangat bermanfaat, terutama kamus kamus untuk bidang ilmu tertentu dan kamus untuk bahasa tertentu terutama kata kata kuno dan jarang dipakai lagi. Kamus untuk bidang ilmu tertentu misalnya Kamus Biologi, Kamus Istilah Perbankan, Kamus Istilah Perpustakaan, Kamus Istilah Kearsipan dan lain lain. Sedangkan kamus bahasa tertentu yang banyak dicari karena sudah banyak kata kata kuno yang sudah jarang digunakan dalam percakapan sehari hari misalnya, Kamus Bugis I Lagaligo, Kamus Makassar - Belanda, Kamus Bugis – Belanda dan lain lain.

Buku kamus bahasa Makassar – Belanda ini termasuk satu satunya kamus bahasa Makassar yang saya temukan di rak koleksi buku ruang refensi. Buku yang ditulis oleh seorang peneliti asing asal Belanda ini cukup lengkap memuat kata kata bahasa Makassar yang kemudian diterjemahkan dan dijelaskan padanan kata dan contoh kalimatnya dalam bahasa Belanda. Tidak hanya itu, kata kata serapan dari bahasa Melayu dan Arab juga dijelaskan, misalnya kata ‘bayara’ diberi penjelasan (Mal. Bayar). Mal disini artinya Malay atau Melayu. Begitu pula jika ada kata kata serapan dari bahasa Arab, juga dijelaskan, bahwa kata tersebut dari bahasa Arab. Ada pula kata yang sepadan atau sama dengan bahasa Bugis, maka akan dijelaskan tentang persamaan itu.

Kosa kata bahasa Makassar yang diserap dari bahasa Belanda melalui bahasa Melayu juga dijelaskan dalam buku kamus ini. Contohnya, ‘bengkele’ yang merupakan kata serapan dari bahasa Melayu ‘bengkel’ sedangkan kosa kata bahasa Melayu ini merupakan serapan dari bahasa Belanda.

Buku kamus yang terdiri dari 989 halaman ini terdiri dari 9 (sembilan) bagian yaitu : bagian pertama adalah ‘voorwoord’ atau “Kata Pengantar”, kemudian ‘Inleiding’ atau ‘kata pengantar atau ‘pendahuluan’. Bagian ke-3 ‘Redactionele Afkortingen’, kemudian bagian ke-4  ‘literatuurrverzingen’ (referensi literatur), bagian ke-6 adalah ‘Indisch – Nederlandse  Woorden’ selanjutnya adalah ‘Arabische termen en namen’ (Nama dan istilah bahasa Arab). Bagian ke-8 adalah yang paling penting dalam buku ini, yaitu pokok pembahasan ‘Makassaars – Nederlandse Woordenboek’ (Kamus Makassar – Belanda). Bagian ke-9 adalah ‘addenda’ (tambahan) dan terakhir adalah  ‘Nederlandse – Makassar Register’ atau kata kata  bahasa Belanda dengan artinya dalam bahasa Makassar.    

Kekurangan buku ini adalah masih menggunakan ejaan lama, Jika anda mencari kosa kata Jarra, maka jangan dicari di bawa halaman ‘J’ tapi ‘D’ karena kata Jarra ditulis Djarra dibuku ini. Buku ini juga menggunakan simbol simbol pengucapan. Misalnya kata ‘anrong’ (ibu/mama), tidak ditulis ‘anrong’ tetapi ‘anroŋ’. Huruf ‘ng’ diganti ‘ŋ’.

Buku ini sangat bermanfaat bagi anda yang ingin mengetahui kosa kata Makassar dan asal usul katanya, asal kata serapannya dan juga bagi anda yang ingin mengetahui kosa kata Makassar yang sudah jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari.

Buku ini dapat dibaca pada ruang referensi Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Sulawesi Selatan dan juga tersedia di ruang baca Arsip Unit Kearsipan.




 


Takalar Kini dan Esok, Paradigma Baru Bupati Zainal

Buku : Takalar Kini & Esok, Paradigma Baru Bupati Zainal Editor : Andi Wanua Tangke dan Usman Nukma Penerbit : Pustaka Refleksi Te...

Popular Posts