Kebun Raya Bogor (Bagian I)

Awal Oktober 2013 saya sempat berkunjung dan keliling Kebun Raya, meski tidak semua sempat saya datangi. Waktu itu saya mengikuti pelatihan pada salah satu pusat Diklat salah satu lembaga yang lokasinya dekat dari Kebun Raya. Berjarak hanya ratusan meter dari pintu utama. Kebetulan saya tiba di Bogor sehari sebelum acara Diklat dimulai, jadi saya pergunakan kesemptana sebaik-baiknya untuk mengeksplorasi KRB. Kebun Raya Bogor (KRB) adalah salah satu diantara sedikit kebun raya yang pernah dibangun di Indonesia. Kebun Raya ini luasnya sekitar 87 hektar dan jumlah koleksi tumbuhannya sekitar 15.000 jenis. Tidak heran jika kebun raya ini ramai dikunjungi baik oleh wisatawan domestic, wisatawan asing, pelajar, mahasiswa dan juga peneliti. Bukan hanya kebun raya yang ada, tetapi juga ada museum zoology, herbarium, perpustakaan, rumah kaca Anggrek, CafĂ© de’Daunan, Taman Sujana Kassan, Griya Anggrek, Orchidarium, Masjid, Lapangan Astrid, lapangan Randu, Taman Mexico, Laboratorum Treub dan toko cenderamata. Harga tanda masuknya cukup terjangkau, yaitu Rp. 14.000 perorang, kendaraan roda empat, Rp. 30.000,- Sepeda Rp.5.000,-. Turis dipungut biaya Rp. 30.000,- Kebun raya terbuka mulai jam 7.30 sampai jam 17.00. Ada 4 pintu masuk kekebun, tapi pintu masuk utamanya adalah yang terletak dibagian selatan yaitu di Jalan Otto Iskandar Dinata. Untuk pintu masukknya, ada digedung Graha Sambhrama, karena disitulah loket penjualan tiket, ada brosur dan peta kebun raya serta beberapa petugas yang bisa dimintai informasi tentang apa saja yang bisa dilihat dikunjungi didalam kebun raya. Selama di Bogor, saya mengunjungi Kebun Raya dua kali, pertama hari Senin sore 30 September 2013, kemudian Jumat Sore 4 Oktober 2013. Saya selalu berkunjung sendirian saja, karena beberapa teman Diklat yang kuajak, nampaknya tidak tertarik. Pada kunjungan pertama saya hanya jalan keliling disisi barat sekitar kolam besar dan Istana Bogor. Waktu senja menjelang, tidak sempat mengunjungi bagian timur. Pada kunjungan kedua, saya mengeksplor sisi timurnya, namun juga karena senja menjelang, belum sempat keseberang sungai melewati jembatan gantung. Pada kunjungan pertama, yang menarik perhatian saya adalah Tugu Lady Raffles (Lady Raffles Memorial Monument). Letaknya tidak jauh dari pintu masuk utama. Monumen ini dibangun pada oleh Sir Thomas Stanford Raffles, Letnan Gubernur Inggris di Pulau Jawa waktu itu (1811 – 1816) sebagai kenangan kepada istrinya Lady Olivia Mariamne yang meninggal dunia karena Malaria tahun 1814 pada usia 43 tahun. Kuburannya ada di Pekuburan Belanda di Jakarta, tapi monumen kenangan dibangun di Kebun Raya Bogor karena waktu itu Sir Thomas Stanford Raffles tinggal di Istana Bogor. Kemudian saya berjalan menyusuri telaga kecil yang airnya keruh kehijauan. Sayang sekali karena banyak sampah kemasan minuman berserakah dikolam. Menyusuri telaga keutara menuju bagian belakang (atau bagian depan?) Istana Bogor. Persis diujung telaga ada Tugu Reinwardt (Reinwardt Monument). Tugu yang diresmikan tanggal 16 Mei 2006 ini dibangun untuk mengenang dedikasi Prof. Caspar George Karl Reinwardt seorang ilmuwan ahli botani berkebangsaan Jerman yang pindah ke Belanda dan kemudian oleh pemerintah Belanda ditugaskan sebagai Menteri Pertanian, Seni dan dan Ilmu Pengetahuan di Jawa. Beliau banyak meneliti tanaman yang berkhasiat untuk pengobatan. Beliau juga yang merintis pembangunan Herbarium di Bogor yang waktu dikenal dengan nama Herbarium Bogoriense. Bogor pada era kolonial dikenal dengan nama Buitenzorg yang dalam bahasa Belanda artinya “tidak perlu khawatir”. Dari Tugu Reinwardt kemudian saya menyusuri jalan setapak kearah barat, dan menemukan kuburan Belanda yang dipagari dibawah teduhnya rumpun bambu. Suasana agak sepi dan agak gelap karena hari menjelang senja, hanya ada tukang sapu kebun dan empat atau orang pelajar disekitar tempat itu, sehingga ada sedikit rasa mistik menyelimuti, namun saya memberanikan diri mendekat, membaca tulisan yang ada dibatu batu nisan yang besar dan memotretnya. Dari papan display keterangannya, kompleks pekuburan Belanda ini sudah ada jauh sebelum KRB dirintis pembangunannya tahun 1817 oleh C.G.C. Reinwardt. Ada 42 makam di kompleks pemakaman itu dan 38 diantaranya ada identitasnya, sisanya tidak ada identitas/ tulisan alias makam tidak dikenal. Bentuk nisan dan ornamen makam sangat unik dan berbeda beda satu sama lainnya. Ada yang berbentuk tugu yang tinggi mengerucut, ada yang berupa papan dengan dua pilar kecil sebagai penopangnya, ada yang mirip gentong tapi punya empat sisi, dan bentuk unik lainnya. Kebanyak yang dimakamkan disini adalah para Gubernur Jendral Hindia Belanda dan keluarga dekatnya. Ada makam D.J. Eerens yang menjabat Gubernur Jendral dari tahun 1836 – 1840. Ada juga makam Mr. Ary Prins ahli hukum yang duakali menjadi pejabat sementara Gubernur Jendral. Ada makam 2 ahli biologi Belanda yang masih muda yang dikubur dalam satu liang, masing masing bernama Heinrich Kuhl dan J.C. Van Hanselt, yang dikirim ke Jawa oleh pemerintah Belanda untuk bekerja di KRB. Makam tertua disini adalah makam Cornelis Potmans seorang administrator toko obat yang wafat pada tanggal 2 Mei 1784. Sedangkan yang paling baru adalah makam Prof. Dr. A.J.G.H Koostermans yang wafat tahun 1994, seorang ahli botani berkebangsaan Belanda yang akhirnya menjadi warga negara Indonesia sejak 1958. Kostermans dikuburkan dilingkungan tumbuh-tumbuhan yang dicintainya sesuai dengan permintaannya sendiri selain sebagai penghargaan pemerintah Indonesia atas jasa jasanya untuk ilmu pengetahuan. Sampai akhir hayatnya, beliau bekerja di kantor Herbarium Bogoriense di KRB. Selanjutnya saya menyusuri jalan setapak diantara rerimbunan berbagai spesies rumpun bambu kearah selatan, dan sampai pada Taman Teijsmann (Teijsmann Garden) . Monumen ini adalah penghargaan atas dedikasi Johannnes Elias Teijsmann, seorang ahli pertanian pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Johannes Van den Bosch. Teijsmann, dengan dibantu oleh Justus Karl Hasskarl, beliau mengatur penanaman tanaman sesuai dengan kelompoknya menurut suku (familia) tanaman tersebut. Dekat dari tugu Teijsmann terdapat sekelompok pepohonan tempat bergelantungan kalong/ kelelawar. Dari taman Teijsmann menelusuri jalan utama dalam KRB dan melewati beberapa gedung tua, yaitu Wisma Tamu Nusa Indah dan Laboratorium Treub. Laboratorium ini dibangun tahun 1884 untuk mengabadikan nama Prof. Dr. Melchior Treub seorang Belanda yang pernah menjadi direktur KRB antara tahun 1880 - 1905 Sebelum sampai ke pintu gerbang utama, ada tempat pengembangbiakan bunga Raflesia dan bunga bangkai. Sayang sekali karena saat saya berkunjung, bunganya sama sekali tidak ada. Menurut petugas disitu, sudah lama kedua bunga tersebut tidak mekar, terakhir mekar sekitar tahun 2004 lalu. Dekat dari tempat ini ada toko cenderamata (souvenir shop) dimana banyak bibit tanaman dijual, juga gantungan kunci unik yang didalamnya ada bibit anggrek yang menurut penjualnya, bisa dikeluarkan dan ditanam. Nama KRB sendiri sudah berubah ubah, pada awal pembangunannya dinamai ‘s Lands Plantentuin sampai masa penjajahan Belanda berakhir. Dimasa pendudukan Jepang dikenal dengan nama Syokubutzuer, kemudian, dinamai Botanical Garden of Buitenzorg. Juga pernah disebut Botanical Garden of Indonesia. Sementara penduduk disekitarnya ada yang menyebutnya Kebun Gede, ada juga malah menyebutnya Kebun Jodoh. Mungkin karena banyak yang bertemu jodohnya (pasangannya) pertama kali didalam kebun ini. Entahlah…. Sumber Foto : Koleksi Pribadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Buku Cerdas Sulawesi Selatan, Bunga Rampai Pengetahuan tentang Sulawesi Selatan

Judul:                         Buku Cerdas Sulawesi Selatan Penulis:                       Shaff Muhtamar Penerbit:                     ...

Popular Posts