Asap Rokok Dalam Bis


Beberapa hari lalu saya mengadakan perjalanan jauh untuk tugas mengajar pada salah satu institusi pemerintah yang mengadakan pendidikan dan pelatihan (Diklat) di Mamuju. Dari Makassar (Sulawesi Selatan) ke Mamuju (Sulawesi Barat) yang berjarak sekitar 444 km, sesuai buku panduan pariwisata yang saya baca sebelumnya. Saya beli tiket di Terminal regional Daya. Kalau saja ada bus pagi kesana saya lebih suka karena perjalanan ke Mamuju semua melalui tepian pantai yang indah. Tapi karena semua bus berangkat pada malam hari, terpaksa saya berangkat malam, sekitar jam 7.30 malam.

Tiket bis yang saya dapat adalah non-ac, karena yang tiket bis ber-ac sudah habis. Ketika sudah duduk dalam bus, orang yang duduk tepat dibelakang saya sedang asyik merokok. Orangnya sudah tua dan sudah memakai kain sarung, mungkin persiapan tidur, pikirku. Ternyata orangtua perokok tersebut, tidak tidur sepanjang perjalanan, tapi asyik merokok. Asap rokoknya selalu tertiup kemuka saya setiap kali dia hembuskan. Terpaksa dengan saputangan, saya menutupi hidung, sambil berusaha tertidur. Perjalanan yang menyiksa bagi saya, tapi mungkin menyenangkan bagi orangtua tersebut. Saya jadi kurang tidur, padahal besok pagi sampai sore harus mengajar dari pagi sampai sore untuk tiga materi pengajaran.

Penduduk Indonesia termasuk negara dengan jumlah perokok terbesar didunia. Entah mengapa. Pemerintah kita sangat tidak berdaya menerapkan peraturan larangan merokok ditempat umum, termasuk dalam bus komersial. Bahkan dengan mudah berbagai iklan rokok menyerbu media massa (cetak dan elektronik). Baliho baliho raksasa di kota kota besar 90% adalah iklan rokok. Di Australia, iklan rokok telah dilarang disiarkan di TV dan radio sejak 1970-an. Disini, iklan rokok selalu yang paling lama durasi penayangannya, imejnya selalu petualangan, persahabatan, kebaikan hati, nasionalisme, dan kejantanan (padahal dibungkusnya disebutkan dapat menyebabkan impotensi hehehehe).

Pada salah satu majalah kesehatan, pernah dibahas bahwa secara statistik biaya pengobatan penyakit yang disebabkan oleh rokok jauh lebih tinggi dibanding pendapatan negara dari cukai rokok. Alasan pemerintah, industri rokok menampung banyak tenaga kerja. Ditengah krisis ekonomi yang melanda negara kita, munkin alasan ini dapat diterima kalau menyangkut tenaga kerja. Tapi tidakkah pemerintah memikirkan biaya pengobatan penyakit yang disebabkan oleh rokok?

Pemerintah kita juga tidak berdaya menerapkan aturan larangan merokok bagi anak anak. Saya sering melihat anak anak SMP dan SMA merokok dengan santainya. Dinegara maju, misalnya di Amerika, negara negara di Eropa, Jepang, Kanada, Australia sesorang harus memperlihatkan KTP sebelum membeli rokok. Kalau usianya belum 18 tahun, penjual tidak akan memberikannya. Percuma saja pemerintah kita melarang anak anak merokok, semetara orangtua, om, kakak, guru guru disekolah adalah perokok.

Pesan moral: kalau tidak mau anak anak kita merokok, maka kita jangan merokok. Anak anak kita akan berpikir, kalau ayah merokok, kenapa saya tidak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Takalar Kini dan Esok, Paradigma Baru Bupati Zainal

Buku : Takalar Kini & Esok, Paradigma Baru Bupati Zainal Editor : Andi Wanua Tangke dan Usman Nukma Penerbit : Pustaka Refleksi Te...

Popular Posts