Pancaran Sinar Petromaks

Kampung halamanku di PalattaE (Bone bagian selatan) tidak memiliki instalasi listrik sampai tahun 1979. Masih kuat tersimpan dalam kenangan dan ingatan saya keadaan pada masa itu. Meskipun belum ada listrik, tapi saat itu sudah ada beberapa keluarga yang memiliki TV hitam putih, yang menggunakan Aki (ACCU) sebagai sumber energinya. Antenna TV terbuat dari bambu yang disambung sambung dan menjulang tinggi sampai puluhan meter. Untuk menaikkan antena TV mesti mengerahkan puluhan orang, karena antenna bambu itu ditegakkan/dinaikkan dengan menarik tali di empat penjuru mata angin. Antena selalu diarahkan ke kota Sengkang di Wajo, karena hanya disana pemancar TV (TVRI) yang ada selain di Ujungpandang (Makassar) waktu itu. Radio dan radio kaset yang menjadi raja hiburan kala itu dan menggunakan baterei sebagai sumberdayanya.
Malam hari gelap karena tentu saja tidak ada lampu jalan. Penerangan jalan hanya terbantu dari pancaran sinar lampu petromaks dari sebagian rumah penduduk. Penduduk setempat menyebutnya lampu Strongkeng. Entah darimana nama tersebut diambil. Tidak semua penduduk memilikinya. Yang tidak memiliki petromaks, biasanya hanya memiliki lampu minyak biasa (sulo) atau lampu teplok minyak yang apinya terlindung semprong kaca. Kehidupan malam sebentar saja. Setelah makan malam atau shalat Isya, penduduk kebanyakan sudah tidur. Kehidupan malam benar benar berakhir setelah shalat Isya dimasjid.
Pancaran sinar petromaks. Masa kecilku dulu di PalattaE, keluargaku hanya menggunakan lampu petromaks setiap malam. Selain lampu petromaks, juga ada beberapa lampu minyak yang terbuat dari kaleng susu dan lampu minyak teplok. Lampu minyak ini biasanya kalau dinyalakan sampai pagi, maka akan menghitamkan benda benda yang ada disekitarnya, mulai dari kelambu, meja, kursi bahkan lubang hidungpun terkadang hitam. Asap yang hitam berasal dari pembakarannya sumbunya berterbangan kemana mana.
Lampu petromaks dirumah kami hanya satu, dan digantungkan diruang tamu. Saat makan malam tiba, lampu tersebut dipindahan keruang makan dibelakang. Selesai makan baru dipindahkan lagi keruang tamu. Disinilah kami berkumpul, biasanya belajar, kerja PR, ngobrol, menerima tamu, semua dilaksanakan diruang tamu yang ada lampu petromaksnya. Lampu ini menggunakan minyak tanah (kerosene) sebagai bahan bakarnya, dan terkadang meskipun masih dibutuhkan, misalnya saat ada tamu, tapi minyaknya sudah habis, perlahan lahan sinarnya akan meredup. Kalau sinarnya redup dan tangkinya dipompa, sinarnya akan terang kembali, tapi biasanya hanya sementara saja. Tamu biasanya mengerti dan pamit pulang. Yang merepotkan kala itu, adalah kalau ada acara hajatan, misalnya pesta pernikahan. Yang punya hajatan biasanya akan meminjam lampu petromaks dari tetangga. Acara pestanya biasanya siang, tapi malam hari digunakan untuk urusan masak memasak yang biasanya dilaksanakan dihalaman belakang rumah. Kalau lampu kami dipinjam tetangga, biasanya terpaksa kami menggunakan lampu minyak sebagai penerangan utama didalam rumah. Lampu senter adalah sumber penerangan lain yang praktis kala itu. Hampir semua rumah tangga memilikinya. Saat shalat subuh dimesjid, hampir semua jamaah meletakkan lampu senternya didepannya. Ketika instalasi listrik akhirnya terpasang dikampung kami, peranan lampu petromaks perlahan lahan tergeser, namun tidak secara langsung menghilang. Salah satu penyebabnya, karena listrik waktu itu hanya menyala sampai jam 10 malam. Setelah jam 10, kembali gelap gulita. Kalau masih ada beberapa kegiatan yang harus diselesaikan, maka kembali lampu petromaks dinyalakan. 

Seiring dengan perjalanan waktu, listrik menyala semakin lama. Kalau awalnya hanya sampai jam 10 malam, kemudian sampai jam 12 malam. Kemuadian menyala sepanjang malam sampai pagi, tapi kalau siang listrik tidak ada sama sekali, jadi hanya malam hari saja. Sekarang ini listrik sudah menyala 24 jam, meskipun kadang kadang masih mati lampu. Lampu petromaks sampai sekarang jarang saya lihat lagi. Mungkin sudah tidak ada lagi yang menggunakannya, kecuali oleh sebagian nelayan saat melaut. Masalahnya sekarang, karena harga minyak tanah semakin mahal. Zaman sekarang suasana kampung sudah terang benderang. Ada lampu penerangan dijalan dan dimana mana, dirumah, di tempat umum. Ada lampu pijar yang warnyanya agak kekuning kuningan dan kini hampir menghilang, ada juga lampu neon yang putih bersih dan hemat listrik, dan sekarang ada yang namanya lampu Led. Namun demikian…pancaran sinar petromaks dan lampu minyak masih kuat tertanam dalam memoriku saat masih anak anak dulu dikampung halaman….. Sumber Gambar: Fritz-berger.de, techthor.com, habibie-zone.blogspot.com, kartikarahmawati.wordpress.com, perkakasku.com, antaranews.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Takalar Kini dan Esok, Paradigma Baru Bupati Zainal

Buku : Takalar Kini & Esok, Paradigma Baru Bupati Zainal Editor : Andi Wanua Tangke dan Usman Nukma Penerbit : Pustaka Refleksi Te...

Popular Posts