Menikmati Kereta Commuter Line di Jakarta

Bagi saya yang berasal dari Indonesia bagian Timur, menggunakan moda transportasi kereta api atau kereta listrik adalah sesuatu yang langka. Di Indonesia bagian Timur, tidak satupun kota yang memiliki moda transportasi kereta. Sebenarnya dulu di Makassar berdasarkan catatan sejarah, sekitar 1930an – 1950an terdapat jaringan kereta yang menghubungkan antara Makassar dengan kota kecil Takalar yang berjarak sekitar 40 Km. Jaringan kereta tersebut dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda untuk tujuan pengangkutan tebu untuk industri gula. Namun sekarang ini, tak ditemukan lagi sisa sisa rel atau stasiun kereta di kota Makassar. Baru pada tahun ini (2015) disetujui rencana pembangunan jalur kereta api trans Sulawesi yang kelak akan menghubungkan antara Makassar – Manado, dan Makassar - Kendari.
Agustus 2015 lalu, saya kembali ditugaskan ke Jakarta. Berdua dengan seorang teman kantor, kami memutuskan untuk mencoba menggunakan moda transportasi kereta “Commuter Line” yang memang belum pernah kami coba di Jakarta. Pertama kali saya naik kereta ketika kuliah di Sydney, Australia beberapa tahun lalu. Di Jakarta juga pernah naik kereta, tetapi saat itu untuk perjalan jauh, yaitu Jakarta – Bandung (2005) dan Jakarta – Surabaya (2013). Jenis kereta dalam kota Jakarta dan kota sekitarnya yang disebut “commuter line” sama sekali belum saya coba, meskipun kami hampir setiap tahun ke Jakarta, baik karena tugas kantor maupun untuk urusan pribadi.
Setelah urusan dinas selesai di kantor Arsip Nasional RI di Jl. Ampera Raya, kami pun bertanya kepada salah seorang staf ANRI tentang bagaimana caranya kalau akan menggunakan kereta ke Tanah Abang. Sebagaimana yang dijelaskan, dari depan kantor ANRI di Jl. Ampera Raya, kami naik angkot (angkutan kota) menuju Stasiun Mangga Besar. Di Stasiun Mangga Besar, kami mencari informasi dengan cara bertanya langsung kepada satuan pengamanan (satpam) di stasiun, lalu kami beli tiket di loket kereta. Kami masing masing mendapatkan kartu kereta yang digunakan untuk membuka pintu palang otomatis stasiun dengan cara menempelkan kartu tersebut. Setelah di peron, kami pun menunggu. Calon penumpang lainnya sudah banyak yang menunggu. Calon penumpang dari berbagai kalangan; ada pegawai, ada ibu rumahtangga, pemuda, orang tua dan anak anak bahkan ada beberapa pemuda yang saya dengan berbicara dalam bahasa Thailand. Tak berapa lama kemudian, kereta yang kami tunggu datang. Bergegas kami menaiki kereta. Semua lancar lancar. Suasana dalam kereta juga tidak terlalu ramai. Mungkin karena masih pukul 2 siang. Kami dapat tempat duduk. Kalau saya perhatikan, dalam kereta, tidak banyak disediakan tempat duduk. Sepertinya memang hanya disiapkan bagi penumpang untuk berdiri saja, karena banyak tali tempat pegangan pada bagian atas. Didalam kereta, juga tersedia kursi khusus untuk ibu hamil, ibu yang membawa anak kecil, manusia lanjut usia, dan orang cacat (disabilitas). Tapi karena yang diperuntukan kursi tersebut tidak ada, maka penumpang yang duduk disitu orang muda yang masih sehat sehat saja. Pada dinding dalam gerbong kereta, juga tersedia jalur jalur kereta dengan petunjuk yang cukup jelas. Termasuk nama nama stasiun, tujuan kereta dan dimana mesti ganti kereta. Juga cukup banyak petunjuk tanda “larangan”, mulai dari larangan membawa hewan, larangan makan minum, merokok, petunjuk hati hati agar tangan danbadan tidak terjepit dipintu kereta dan petunjuk lainnya. Termasuk juga banyak iklan iklan yang menempel didinding kereta, yang akhirnya membuat kereta nampak kurang bersih dan kumuh.
Ternyata menaiki kereta Commuter Line di Jakarta membawa kita ke berbagai daerah. Kereta Commuter Line ini selain melewati jalan protokol dan jalan utama dan juga melewati kawasan kumuh tempat para pemulung dan pengemis tinggal. Setelah melewati banyak stasiun, akhirnya kamipun sampai ke stasiun Tanah Abang. Sebelum kereta sampai ke stasiun Tanah Abang, kereta berhenti. Lewat pengeras suara, masinis (atau kondektur?) mengumumkan bahwa kereta berhenti karena menunggu waktu giliran memasuki stasiun. Ternyata jadwal kedatangan kereta distasiun ini cukup padat. Dari Stasiun Tanah Abang, kami jalan kaki ke pusat perdagangan Tanah Abang. Kami jalan kaki karena mengira jarak dari stasiun ke Pasar Tanah Abang dekat. Tapi ternyata cukup melelahkan juga untuk jalan kaki. Apalagi kami jalan kaki melewati jalanan umum, bukan lorong atau gang.
Sore hari setelah selesai berbelanja di Tanah Abang, kami kembali ke stasiun. Kami tetap jalan kaki tapi kali ini kami lewat gang sempit yang merupakan jalan pintas dari Pasar Tanah Abang ke Stasiun Tanah Abang. Sesampainya kami di stasiun, ternyata stasiun penuh sesak dengan calon penumpang. Saya jadi agak khawatir, jangan sampai tidak dapat tempat. Tujuan kami adalah stasiun Duren Kalibata. Ketika kereta tiba, ternyata benar dugaan saya, kereta penuh. Mungkin karena waktu pulang kerja bagi sebagian besar penduduk Jakarta. Meskipun penuh, ternyata kereta tetap berhenti seperti biasa, dan tetap buka pintu. Penumpang yang hendak turun, malah banyak yang terdorong masuk oleh penumpang yang akan naik. Untung waktunya cukup untuk naik dan turunnya penumpang. Kami berusaha memasuki gerbong dengan susah payah karena banyaknya penumpang.
Gerbong kereta yang kami naiki, penuh sesak. Bahkan untuk mencari pegangan tangan bagi penumpang yang berdiripun susah. Untungnya dalam kereta ada kipas dibagian atas sehingga tidak terasa panas, tapi tetap saja tersiksa karena himpitan badan para penumpang lainnya. Saking sesaknya, ada seorang penumpang perempuan paruhbaya, jatuh pingsan yang akhirnya diberi tempat duduk oleh penumpang lainnya. Ketika kereta berhenti pada salah satu stasiun kereta, saya berharap, penumpang akan berkurang, karena sebagian pasti turun. Ternyata dugaanku meleset. Ada yang turun, tapi sedikit. Penumpang yang merangsek naik jauh lebih banyak. Saya merasa semakin tersiksa. Baru kali ini saya merasa terhimpit dan terjejal bagaikan ikan sarden dalam kaleng. Karena banyaknya penumpang yang naik saat kereta singgah distasiun, saya semakin terdesak menjauh dari pintu kereta, dan semakin jauh terpisah dengan teman kantor. Saat mengetahui stasiun Duren Kalibata semakin dekat, saya pun berusaha merangsek mendekati pintu keluar. Saya tidak ingin, penumpang yang naik nantinya akan menyusahkan saya turun dari kereta. Akhirnya tibalah di stasiun Duren Kalibata. Dengan cepat, saya memberi kode keteman, bahwa sudah sampai, dan mengambil tas ransel yang dari tadi kujepit diantara kedua kaki, karena takut kecopetan. Dengan susah payah dan penuh perjuangan, akhirnya kami berhasil juga turun dari kereta.
Dari pengalaman naik kereta Commuter Line di Jakarta, saya berkesimpulan bahwa; kereta Commuter Line hanya nyaman digunakan pada siang hari. Pagi dan sore hari ketika waktu pergi dan pulang kantor sangat jauh dari rasa nyaman, aman dan manusiawi. Pemerintah daerah khusus Ibukota sudah seharusnya menyediakan sarana transportasi yang lebih baik lagi, agar mobilitas penduduknya akan semakin lancar. Transportasi yang lancar, nyaman, aman dan manusiawi tentu akan meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan para penduduknya. Kapankah itu terwujud? Entahlah! Saya bukan penduduk Jakarta, dan dikampung halamanku di Sulawesi sana, kami belum menikmati sarana transportasi kereta. (Sumber gambar: krl.co.id., rumah123.com., tribunnews.com., tempo.co., wikipedia.org., beritasatu.com., satulayanan.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Buku Cerdas Sulawesi Selatan, Bunga Rampai Pengetahuan tentang Sulawesi Selatan

Judul:                         Buku Cerdas Sulawesi Selatan Penulis:                       Shaff Muhtamar Penerbit:                     ...

Popular Posts